Bab 18. Tangis Haru

23 1 0
                                    

Simbok baru tiba di rumah Bram, tapi dia sudah menerima kejutan, dengan kehamilan Sri yang tidak diketahui sebelumnya. Baru beberapa jam simbok sampai di kota dan tinggal di rumah Bram, tiba-tiba Sri mengalami kontraksi.

Bram yang kebetulan mengambil cuti beberapa hari, agar bisa menemani Sri menjalani proses melahirkan, kemudian bergegas menyiapkan keperluan Sri dan bayinya. Dibantu simbok, Bram mempersiapkan kehadiran anak yang dikandung Sri.

"Ayo Mbok, kita segera bawa Sri ke rumah sakit," ajak Bram ketika semua persiapan sudah lengkap.

"Iya, Bram. Kita harus cepat-cepat membawa Sri ke rumah sakit," jawab simbok.

Mamad yang masih ada di rumah itu, membantu mencarikan taksi. Ketika mobil itu tiba, mereka segera memapah Sri masuk ke dalam, ditemani simbok dan Bram. Sementara Mamad duduk di samping pengemudi.

***

Di rumah sakit Bram bergegas memanggil suster, kemudian suster tersebut keluar sambil mendorong kursi roda, Sri lalu di dudukan di atas kursi roda dan segera dibawa menuju ruang bersalin.

Di ruang bersalin, Sri yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di rumah sakit, merasa takut dan ngeri bila harus berhadapan dengan jarum suntik. Dari kursi roda Sri dipindah ke atas tempat tidur pasien dan segera mendapatkan perawatan dari dokter kandungan.

Sri diperiksa secara detail, kemudian dokter yang bertugas memeriksa bukaan jalan lahir, Sri sudah pada bukaan 5, sehingga membuat dirinya kesakitan, dia meminta pada dokter untuk mengijinkan simboknya masuk, walau hanya sebentar. Dokter pun mengijinkan.

"Sus, tolong panggilkan orang tua pasien," perintah dokter, pada suster yang mendampinginya.

"Baik, Dok. Sebentar saya panggil," jawab suster tersebut.

Suster pun beranjak dari ruang bersalin untuk memanggil simbok.

"Maaf pasien yang bernama Sri, ingin bertemu ibunya," ucap suster tersebut.

"Baik, Sus. Ini simbok, ibu pasien," jawab Bram, seraya merangkul simbok menuju ruang bersalin.

Suster dan simbok kemudian segera menuju ruang bersalin, di sana simbok melihat Sri yang terbaring dengan selang infus di tangan. Sri mengerang kesakitan, ketika mbok Darmi mendekati dirinya, Sri kemudian meminta maaf atas sikapnya yang tak pernah mendengarkan nasehat simbok.

Sri terisak menginggat saat dia menolak ajakan mbok Darmi pulang ke kampung. Hingga kini dia harus menanggung anak hasil perkosaan pak Bandi, bandot tua yang telah merengut kegadisannya.

"Mbok ...," panggil Sri.

"Ya ... Nduk, simbok di sini. Kamu yang kuat ya, Nduk. Demi anakmu," jawab mbok Darmi.

Sri seketika tergugu, saat simbok memberikan semangat, agar dirinya kuat demi anak yang di kandungnya.

"Andai simbok tahu, anak ini bukan anak mas Bram, tapi ini anak bandot tua itu, mbok." gumamnya sambil masih tergugu pilu.

Simbok terus memberikan semangat pada anak kesayangannya, karena yang mbok Darmi tahu Sri hamil anak Bram. Bukan anak pak Bandi. Sri juga Bram sepakat akan menutup rapat rahasia ini. Karena Sri takut, kalau sampai kehamilannya ini sampai ke telinga bandot tua tersebut.

Beberap menit sejak Sri memohon maaf pada simboknya dan mbok Darmi memaafkan semua kesalahan anaknya. Perutnya mengalami kontraksi kembali, dokter dan suster segera mengambil tindakan, karena Sri sudah bukaan lengkap, artinya sebentar lagi dia akan melahirkan anaknya.

Benar saja, setelah dokter mengecek bukaan pada jalan lahirnya, Sri kemudian meremas tangan simbok, tapi suster buru-buru menyuruh mbok Darmi meninggalkan ruang tersebut dan menunggunya di luar.

Bram kemudian mendekati simbok yang baru keluar dari ruang bersalin, Bram khawatir dengan istrinya yang sedang bertaruh nyawa. Bram tahu kalau itu bukan anaknya, tapi Bram berharap Sri dan bayinya selamat.

Sementara itu Sri dipandu dokter dan suster yang merawatnya, terus mengejan sesuai arahan dokter, hingga seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki lahir dengan selamat, tanpa kurang suatu apapun.

Sri bahagia bercampur haru, saat bayi mungil itu di berikan padanya untuk melakukan inisiasi dini, agar bayi lebih dekat mengenal ibunya. Tidak lama kemudian mbok Darmi dan Bram masuk ke ruangan tersebut. Bram kemudian meminta simbok untuk mengangkat bayi tersebut, lalu memberikannya pada Bram. Karena Bram ingin mengazankannya, Bram berharap agar kelak menjadi anak yang salih.

Mamad yang melihat ketulusan Bram, salut dan bangga akan apa yang sudah dilakukan sahabatnya tersebut. Dia nggak menyangka, bahwa Bram akan berbuat senekat itu untuk melindungi orang yang dia cintai.

Simbok terharu saat Bram mengazankan bayi Sri. Dia nggak menyangka akan ketulusan cinta Bram pada anaknya. Sementara anaknya diazankan oleh suaminya, Sri tak kuasa membendung bulir bening yang terus mengalir dari sudut matanya.

"Bagaimana aku harus membalas ketulusan dan cintamu, Mas?" batin Sri sambil mengusap air matanya.

Mamad pun tak kuasa menahan keharuan, akan ketulusan sobatnya. Dia mencoba untuk menahan agar bulir bening itu tak membasahi netranya. Bram yang melihat kejadian itupun mencoba merangkul Mamad, sesaat Bram selesai memngumandangkan azan di telinga anaknya.

"Bram, aku salut, aku nggak tau, apakah aku bisa setegar kamu menghadapi kenyataan yang ada," ucap Mamad seraya berbisik.

"Sudah lah, jangan didramatisir, itu berlebihan tahu!" jawab Bram seraya menghibur sahabatnya.

Sri terlihat bahagia dengan perhatian dari Bram. Simbok terlebih lagi, dia tak hentinya mengucap syukur atas kasih sayang Bram pada Sri. Simbok tak hentinya memandangi cucunya. Sri dan Bram tak bisa membayangkan seandainya nanti mbok Darmi tahu, bahwa anak yang baru saja dilahirkan Sri bukan anak buah cintanya dengan Bram.

***

Sehari setelah Sri melahirkan dokter mengizinkan dia dan bayinya pulang. Setelah Bram menyelesaikan administrasinya, dia mendorong Sri yang duduk di atas kursi roda sambil memangku bayinya, simbok nengikuti dari belakang sambil membawa perlengkapan Sri.

"Tunggu di sini ya, Mbok. Titip Sri sebentar, saya mau cari taksi dulu," ucap Bram.

Bram bergegas memanggil taksi yang kebetulan mangkal di depan lobi rumah sakit. Ketika Bram hendak memapah Sri masuk ke dalam taksi, dia melihat Prapti yang sedang mendorong suaminya dengan kursi roda. Sebenarnya dia iba, tapi dia sudah berjanji nggak akan berusan lagi dengan mereka. Beruntung simbok nggak melihat mereka, begitu sebaliknya. Sehingga Bram buru-buru masuk ke dalam taksi dan duduk di samping pengemudi.

Bram nggak ingin kebahagiaan ini rusak, karena harus berurusan dengan Prapti dan Paimo. Dia berharap tak akan pernah lagi bertemu dengan mereka.

***

Hari berganti dan bulan pun berganti, simbok masih ingin tahu bagaimana kejadiaannya sampai Sri menikah dengan Bram, lalu hamil tanpa memberitahu pada mbok Darmi.

Sri mulai cemas dengan pertanyaan simboknya, dia takut simbok akan murka dan tidak mau mengakui bahwa anaknya adalah cucunya. Hingga ketakutan Sri berimbas pada anaknya.









SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang