BAB 1

7.5K 603 8
                                    

Seoul, Korea Selatan 2018.

Hari ini langit malam terlihat begitu indah dengan cahaya bulan yang bersinar terang ditemani ribuan bintang, serta semilir angin yang berhembus pelan menciptakan suasana tersendiri bagi gadis bersurai hitam yang tengah berdiri dibalkon kamarnya. Kedua mata bulat dengan bulu lentik itu menatap lurus kedepan, memori otaknya memutar peristiwa jauh hari yang membuatnya membulatkan tekad untuk melanjutkan pendidikan di tanah kelahirannya ini.

Sepasang kaki jenjangnya melangkah berbalik menuju ranjang yang sudah lama tidak ia tempati mengingat ia menuntut ilmu di negeri orang. Namun siapa sangka, kini ia kembali. Bukan untuk melanjutkan serta menggabungkan lembaran baru dan lembaran lama tetapi untuk membuka lembaran baru dan menyimpan lembaran lama atau bahkan membuangnya.

Apakah terdengar rumit? Ya, dia pun merasakan hal yang sama.

Tidak mudah berjalan sendirian ketika dua penopang yang sangat dibanggakan sudah enggan untuk bersatu. Semua mimpi yang telah dirangkai rapi sudah hilang menjadi angan-angan. Berusaha terlihat baik-baik saja disaat dirimu yang sebenarnya tidak baik-baik saja, itu semua tak semudah menjentikkan jari kelingking.

════════════════════

Seorang gadis dalam balutan kaos stripped yang dipadu dengan overall dress telah melangkahkan kakinya menjelajahi setiap sudut kampus, namun ia tak kunjung menemukan tempat yang dicari. Bahkan ia juga menyempatkan diri untuk bertanya pada sekelompok gadis yang tengah asik berbincang dan salah satu dari mereka menunjuk lantai dua disertai senyum yang sulit diartikan.

Apakah ia sedang ditipu? Sepertinya iya karena kedua matanya sama sekali tak menangkap keberadaan ruangan dengan berjuta buku atau yang lebih dikenal dengan Perpustakaan.

Sepasang kaki yang dilapisi sneakers putih itu terus melangkah hingga berhenti di sebuah koridor. Mendudukan tubuhnya pada sebuah kursi besi panjang di sisi kanan, menyandarkan punggungnya ke kursi, ia sungguh lelah hari ini. Bayangkan saja, berkeliling kampus mengitari lantai satu dan lantai dua yang luasnya melebihi lapangan sepak bola. Ah bahkan ia berniat untuk mengulanginya setelah istirahat.

Jeon Shasa hendak memejamkan matanya sebentar sebelum sebuah suara menyapa gendang telinganya.

"Hei, apa kau sedang sakit?"

"Ah, tidak. Aku hanya sedang beristirahat"

Gadis dengan kemeja baby blue itu mendudukan dirinya disebelah Shasa, sepasang alisnya menukik hingga nyaris menyatu. "Apakah kau mahasiswa baru? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

Shasa tersenyum canggung, ia pun berinisiatif mengulurkan tangan kanannya. "Ya, aku mahasiswa baru disini. Namaku Jeon Shasa."

Bibir tipis berwarna pink natural itu tertarik keatas membentuk sebuah senyuman, tangan kanannya pun membalas uluran Shasa.
"Kim Lami"

"O iya, bolehkah aku bertanya?"

"Tentu."

"Letak perpustaan dimana ya?"

"Oh kau sedang mencari perpustakaan rupanya" ujar Lami dan hanya dibalas anggukan oleh Shasa

Gadis bersurai coklat itu berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ujung koridor yang dibatasi dengan pagar besi, sementara dibawah sana tepatnya di sebelah lantai satu terdapat sebuah taman hijau dengan bunga warna warni yang bermekaran. Tak lupa dengan Shasa yang mengekorinya.

"Perpustakaan berada dilantai satu, tepatnya disebelah kiri taman" jari telunjuk Lami bergerak menunjuk sebuah gedung yang cukup besar, pintu kaca dan jendela yang tak kalah besarnya, serta sebuah ukiran bertulis perpustakaan dengan huruf kapital yang terukir secara permanen pada sebuah tembok di atas pintu.

Nah kan, dirinya telah ditipu oleh sekelompok gadis kelebihan bedak itu. Oke, Shasa sedikit menyimpan dendam sekarang. Ingatkan dia untuk membalaskan dendamnya!

"Terima kasih, Lami. Kalau begitu aku pergi dulu, semoga kita bertemu lagi."

════════════════════

Satu kata yang ada dipikirannya saat memasuki sebuah gedung dengan ribuan buku, yaitu SEPI. Dalam ruangan yang cukup besar itu hanya terdapat tiga manusia di dalamnya, dua penjaga perpustakaan dan satunya lagi sosok laki-laki yang tengah membaca di sudut ruangan.

Setelah mendapatkan buku yang ia cari, kedua kakinya pun kembali melangkah berniat untuk menghampiri laki-laki tersebut atau mengajaknya berteman? Ya, semoga saja.

"Hey."

Tidak ada respon, bahkan lelaki itu sama sekali tidak menoleh padanya. Oh apakah suaranya kurang keras?

Shasa berdehem pelan kemudian sedikit mengeraskan suaranya. "Yuhuu~ namaku Jeon Shasa. Ak-

"Sssttt!!"

Oke, sepertinya Shasa berlebihan hingga salah satu penjaga memperingatinya untuk mengecilkan volume suaranya.

Karena masih tak dapat respon, akhirnya ia memutuskan untuk duduk dihadapan lelaki itu. Mencoba mengabaikannya dan mulai fokus pada bukunya. Namun tak berselang lama, ia menghembuskan napasnya kasar. Sungguh ia tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini. Ya, semua perpustakaan memang sunyi dan dilarang membuat kegaduhan tapi bukankah disini terlalu sunyi?

Ia memutuskan untuk kembali membuka suara, memecahkan atmosfer yang terasa berbeda. "Aku mahasiswa baru disini, Jeon Shasa. Siapa namamu?"

Lagi, tidak ada respon. Oh ayolah, apakah dia lelaki dingin seperti tokoh utama pada novel romansa yang dibacanya semalam? Shasa akui, paras lelaki dihadapannya ini tergolong tampan dan manis meski ia hanya diam fokus dengan buku tebal dihadapannya.

"Hey, Tuan. Aku ini manusia sama sepertimu, sombong sekali tidak ingin berkenalan denganku."

Lihatlah, lelaki itu hanya meliriknya sekilas. Tersirat ungkapan seperti enggan diganggu.

Shasa menggulirkan bola matanya jengah.
"Jangan - jangan kau bisu ya? Tidak bisa bicara?"

Laki-laki itu mendelik mendengar pertanyaan yang terlontar bebas dari belah bibir si gadis hingga membuatnya terdiam beberapa detik. Tangan kanannya terulur mengambil note kecil dari saku kemejanya, kemudian meraih pulpen mini yang tersemat diantara note tersebut. Jemarinya bergerak diatas kertas note, menuliskan beberapa huruf hingga menjadi sebuah kalimat. Semua itu tak luput dari penglihatan Shasa.

Seusai menulis, ia merobak kertas putih kecil itu. Kedua tangannya pun kembali bergerak, mengemasi barang-barang bawaanya yang tergeletak di meja, memasukannya ke dalam tas selempang berwarna hitam. Tak lama, ia berdiri menatap gadis dihadapannya dengan ekspresi datar.

"Apa?"

Lelaki itu hanya diam, telunjuk dan jari tengahnya bekerja sama menggeser sebuah kertas yang sudah ia robek kearah si gadis. Tanpa mempedulikan ekspresi penuh tanya, ia berlalu pergi.

Kini tinggalah Shasa seorang diri di meja tersebut, sepasang matanya hanya melirik sekilas kertas mini dihadapannya. Niatnya ia ingin mengabaikan kertas itu dan pergi meninggalkan perpustakaan, namun karena rasa penasarannya yang terlampau tinggi akhirnya jemarinya meraih kertas itu dan membacanya secara perlahan.

— Ya, kau benar. Aku tidak bisa bicara.

 Aku tidak bisa bicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-⋅. GLIMMER [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang