Setelah berlatih dua minggu. Tiba waktunya bagi Jingga debut, elah, debut. Tampil perdana, menggantikan sang drummer yang lagi masa penyembuhan kaki, karena patah tulang.
Jingga cuma menggunakan celana jeans dan kemeja pendek bermotif garis, sebagai kostum panggung, biar tidak ribet juga. Tempat pensinya di halaman kampus, agar bisa ditonton sama senior-senior yang lagi ngurusin skripsi, buat hiburan. Termasuk Ian.
Tema kali ini throwback song, band yang divokali Rudi, dan beranggotakan empat orang, tidak terhitung untuk Jingga ini, bernama Klu Band. Mereka masih bisa santai, iya, santai buat yang sering tampil. Bukan buat Jingga. Dia sudah keringat dingin, bahkan sejak berangkat ke kampus.
"Gue ke toilet dulu," pamitnya pada yang lain. Jingga mules, perutnya tidak karuan. Karena gerogi. Semoga tidak berlangsung lama. Karena bakal mengganggu konsentrasi.
"Lega." Jingga segera keluar dari sana. Dipersimpangan, Jingga hampir sama bertubrukan dengan Leo yang lagi berjalan bareng Senja.
"Kok lo disini? Bukannya mau tampil?" tanya Leo yang pasti sudah tahu jawabannya. "Pasti lo mules, ya?" Jingga mengangguk dan memandang Leo malas. Leo sudah tahu habit Jingga, kalau gugup pasti mules. "Kasian Nanaku." Dih! Apaan, sih, Leo? Nanaku-Nanaku segala.
"Sini?" kedua alis Jingga menukik tajam. Tidak mudeng pada Leo. Tapi setelah melihat Leo merentangkan tangan, Jingga paham sekarang. Jingga mendekat, Leo otomatis mendekap Jingga. Memberikan semangatnya, Leo bahkan menepuk punggung Jingga pelan. Sudah seperti Singgih. "Udah mendingan, kan?" Leo menguraikan pelukannya. "Udah sono, balik. Abis ini gue sama Senja kesana." Habis ini? Kok, Jingga penasaran ya? Ah! Bukan urusan dia. Ngapain dipenasaranin.
Leo mendorong pelan Jingga agar kembali ke backstage. Menunggu giliran tampil. Sesekali Jingga menoleh pada dua sejoli itu. Mereka sudah sering terlihat berduaan. Bahkan sampai gosip pacaran mereka menyebar. Padahal belum jadi apa-apa. Leo, si, suka-suka saja. Entah, si Senja. Tapi kalau Jingga lihat, Senja nyaman-nyaman saja bersama Leo.
"Semangat!" teriak Senja dari jauh.
Jingga tiba di belakang panggung, tepat sebelum dia naik stage. Abangnya juga disana. Memberikan supportnya dengan menonton, itu saja sudah cukup bagi Jingga. "Semangat dek," bukan Ian, tapi temannya, Hugo, meskipun pintar, tapi dia kolektor film biru.
Inhale Exhale. "Lo baik aja kan?" tanya Rudi yang ada di depannya. Jingga mengangguk. "Sante aja, kalo udah naik panggung, pasti lo bakal nikmatin, kok."
Sorak sorai penonton, tepatnya para gadis memenuhi indera pendengaran Jingga. Apalagi saat Jingga sudah duduk menghadap drum, otomatis, wajahnya terlihat audiens, yang langsung membuat histeria cewek-cewek.
Ini kenapa, sih mereka? ㅡ Jingga.
"Adek lo pasti dikira cowok." Celetuk Hugo. Sembari cekikikan. Ian mengangguki, Jingga memang tak sepopuler dirinya , dia lebih suka ndekem di kelas soalnya. Kalau tidak ya, tidur di taman. Apalagi sekarang, adiknya itu, terlihat benar-benar bisa dibilang ganteng dan keren. Ingin sebenarnya, Ian melihat Jingga berpakaian selayaknya cewek. Berambut panjang. Tapi dia tahu, Jingga sudah sangat nyaman dengan stylenya yang begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Habis Terang ✔
RomanceSELESAI Meski tak bercahaya, bukan berarti gelap. ㅡ Walau Habis Terang ㅡ Hoiland. Cover by me. Supported by Canva. ©2019, Februari.