"De, lo tahu, gue kemarin ketemu siapa, disini?"
Dewa meletakkan gelas kopinya, "Siapa?"
"Orang yang gue tunggu,"
"Jingga? Serius Jingga?" Leo menggeleng. "La terus?"
"Cuma orang yang berhubungan dengan Nana. Bang Ian," Dewa dengan otak berisi beribu pertanyaan menunggu, Leo menyelesaikan kalimatnya. "Tapi, dia nggak sendiri. Ada satu orang lagi, pendamping hidupnya Nana selama ini."
"Maksud lo apa si Le? Jingga udah nikah?" Lagi-lagi Leo menggeleng.
"Belom tahu, mereka nggak ngasih tahu tentang Jingga. Satu minggu lagi, pendamping Nana bakalan nemuin gue disini."
🍃🍃🍃
Garis lurus yang membentuk huruf L kecil, namun sedikit lebih panjang itu masih berkedip. Masih dengan uname yang sama, yang saat membaca, Leo pasti nyanyi lagu Havana.
"Nanana oh Nana~"
Leo mengetikkan sesuatu disana, hanya sebuah tulisanㅡhallo. Lalu dikirimkan, namun tak pernah terkirim. Teringat, pemuda tampan yang datang bersama Ian. Wajahnya sungguh menampakkan aura yang sangat manis, juga ramah. Doa Kaifta terkabul, Jingga telah mendapat yang lebih baik. Baru Leo sadar, ternyata dirinya brengsek. Menginginkan Jingga? Hah! Parah. Padahal dulu tak pernah dia anggap Jingga sebagai wanita. Lalu sekarang? Kau merindukan Jingga, Leo? Benar-benar brengsek.
🍃🍃🍃
Disini, di tempat yang sama. Sudah hadir pemuda itu kembali. Dia meminum kopinya, lalu menyisir rambutnya kebelakang, dengan jarinya. Setelah itu, dia mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah flashdisk.
Tatapan Leo, seperti bertanya, "Bukan dari Jingga, tapi dari aku." Kembali meneguk kopinya. "Jangan pikir aku sepenuhnya milikin Jingga. Aku ngrasain apa yang dia rasain, aku punya raganya, tapi aku belum sepenuhnya milikin hatinya. Dia sering bilang maaf ke aku, padahal dia nggak salah apa-apa. Tapi, dia selalu nganggep kalau dirinya udah nyakitin aku, padahal nggak sama sekali. Karena kamu harus tanggung jawab atas separuh hatinya."
Leo hanya diam, mengamati saja orang di depannya bicara. "Dia sangat berharga buat aku. Dia akan selalu berharga." Sedikit menjeda kalimatnya, "tapi Jingga nggak ada disini."
"Lalu dia dimana?"
"Dia ... datanglah kesini." Tangan gempalnya terulur, memberikan kepada Leo secarik kertas, bertuliskan alamat. Leo mengambilnya, membaca, tapi tidak tahu itu dimana. "Itu rumah Neneknya. Berangkatlah kesana hari Minggu, Bang Ian bakal nunggu kamu disana. Aku harus pergi sekarang." Aroma mist milik pemuda itu masih tertinggal, bahkan setelah dia sudah pergi dengan mobilnya. Beralih, menatap flashdisk itu lamat. Mengira-ngira apa yang ada di dalam sana.
🍃🍃🍃
Berkat kegaduhan Kyra, akhirnya Leo terpaksa melihat isi FD, yang didapatnya tadi sore, bersama Hasan, Nindha, dan Kaifta. Ternyata berisi video, hanya sebuah potongan-potongan rekaman dari Jingga.
Awalnya Jingga yang selalu tertawa. Leo bahkan ikut tertawa, tawanya masih dia ingat di dalam kepalanya. Namun, ada yang aneh, tempat dimana Jingga di rekam, tidak asing. Apalagi Jingga yang selalu memakai beanni hat, jangan lupakan, kadang dia memakai piyama yang sama. Apa dia sering sakit?
Di pertengahan video, ada sebuah rekaman, yang sepertinya tak sengaja terekam, karena si perekam meletakkan handy camnya sembarangan, lalu berlari ke arah gadis, dimana menunjukkan Jingga tengah muntah. Lalu, ada apa dengan kepalanya? Kenapa? Kenapa Jingga gundul? Leo memberhentikan videonya, kembali memastikan.
Semua orang yang tengah melihat juga, bertanya-tanya tentang hal itu. Apa yang terjadi dengan Jingga? Leo hampir saja terkejut saat Kyra melanjutkan videonya, karena ulah si perekam. Dia tahu suara itu, meskipun baru bertemu. Tapi masih dia hapal.
"Apa yang mau kamu sampaikan ke Leo, kalau ada kesempatan ketemu." Sepertinya Jingga juga tidak tahu akan ditanya seperti itu, dirinya terlihat terkejut. Tapi, dengan cepat, Jingga mampu mengendalikan ekspresinya kembali.
"Gue kangen sama lo, maaf, gue nggak ngehubungin lo. Gue harap lo sama Senja, selalu bahagia." Leo seperti dihantam ombak besar di tepi pantai. Dirinya ikut terseret arus baliknya, tergulung, dan tenggelam tak mampu berenang. Pergi dari sana, Leo tak tahan. Dia memutuskan, pergi ke rumah Nenek Jingga lebih awal.
"Kyra ikut Papa."
"Kemana, nak?" timpal Nindha, nampak khawatir.
"Aku perlu memastikan Jingga baik-baik aja, Bun,"
🍃🍃🍃
Satu kata, terkejut. Gita dan semua penghuni rumah itu. Sesuai dugaan Ian, Leo akan mengunjunginya lebih awal.
Gita mendekati Kyra, mengelus pelan wajahnya, "Kyra, ya?" Kyra mengangguk, heran, kenapa Ibu-Ibu satu didepannya tahu namanya. Meskipun jauh, Ian ce es, tahu apa saja yang terjadi pada Leo. Mereka punya stalker handal, ya, Ishan.
"Leo apa kabar?" Singgih mendekati Leo, mendekapnya. Leo membalas pelukan Singgih, dirinya mulai terisak disana. Leo sungguh rindu keluarga satunya ini. Kyra yang tidak tahu apa-apa, hanya memandang Papanya itu lekat. Baru kali ini, dia melihat Leo menangis sesenggukkan.
"Nana dimana?" Singgih hanya tersenyum.
"Istirahatlah dulu." Tutur Singgih.
"Apa dia sakit?"
"Nanti kamu juga tahu. Sabarlah dulu, putrimu pasti lelah. Kamu nggak mikirin Kyra, apa?" Ah! Benar juga bagaimana dirinya bisa melupakan Kyra. Dasar, Papa macam apa dia?
🍃🍃🍃
"Gimana kerjaan kamu?"
"Lancar, Pa."
"Udah lama ya, Le. Sembilan tahun, kamu aja udah punya Kyra, Le. Ian ketinggalan, tuh." Singgih mengatakannya sambil tergelak.
"Kyra juga cucu Papa." Singgih mengiyakan, lalu memandang Kyra yang tengah bermain di halaman, dengan cucu alias anak dari adik-adiknya. "Terus, Jingga dimana?"
"Apa alasan kamu nyari Jingga, Le?"
"Harus pake alasan ya Pa, mau ketemu sama sahabat?"
"Jingga nggak disini, Le."
"Maksud Papa, apa? Jingga sakit lagi ya, Pa? Di rumah sakit mana, Pa? Aku akan kesana." Singgih menggeleng.
"Jingga nggak sakit, kok."
"Atau lagi pergi sama, sama ㅡ,"
"Rakai?" Ya, itu, kenapa Leo mendadak cemburu, ya? Tidak boleh tidak boleh. Jingga milik orang lain. Loh? Kok? Leo tertawa dalam hati. Apa-apaan ini? Mengapa jadi begini? Singgih menatap perubahan raut muka Leo, sejak tadi. Saat dirinya menyebut nama Rakai. Terkekeh, dasar duda satu ini. Ternyata masih nakal.
"Entahlah, kenapa memang?" Singgih penasaran sekali dengan jawaban Leo.
"Ya, nggak pa-apa lah, Pa." Leo menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia salah tingkah. Dan tak tahu mau bilang apa. "Aku ke Kyra dulu, Pa." Leo sepertinya tengah mencari alasan, menggunakan Kyra.
"Iya," Singgih melihat punggung Leo yang semakin dewasa, apalagi setelah menjadi single parent. Pasti sulit untuknya. Singgih menghela napasnya, kepalanya menengadah, melihat langit sore yang masih cerah, lalu tersenyum untuk kesekian kalinya.
"Sepertinya akan sulit."
🍃🍃🍃
To be continued
Mulmed bukan punya saya.
Terima kasih sudah membaca.Hoiland
Wonosobo, 12 Juni 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Habis Terang ✔
RomanceSELESAI Meski tak bercahaya, bukan berarti gelap. ㅡ Walau Habis Terang ㅡ Hoiland. Cover by me. Supported by Canva. ©2019, Februari.