Sangat berat bagi Rakai. Melangkah pergi, menjauh dari Jingga. Sialannya lagi, saat tiba di Macau, ya, Rakai pergi ke negara itu. Ponselnya hilang. Baiklah, tidak ada yang penting disana. Dan bodohnya lagi, lupa dia sandi. Yah, sudahlah. Namun setelahnya, dia tidak bisa membuka semua akun sosmednya. Sialan!
Ingin menghubungi Jingga dengan ponsel milik Mona. Tapi terasa kurang etis saja. Apalagi kondisi mereka yangㅡkatakanlah Rakai tengah emosi. Dan tidak mungkin menjelaskan lewat ponsel orang lain. Terasa lucu, jika tiba-tiba,
'Jingga, aku make ponsel Mama. Aku sekarang berada di ...'
Lalu, bla-bla-bla. Mau buat akun lagi? Hah! Semua terasa sia-sia saja. Lagipula, Jingga tak pernah datang, bukan? Otomatis, Rakai memilih diam untuk sementara. Menjauh daripada makin terbawa emosi yang akan membawanya masuk lebih dalam pada pemikiran buruknya.
Hanya saja, lambat laun. Dia merasa biasa dengan kesendirian. Merasa tidak ada kewajiban untuk membahagiakan seseorang. Walaupun awalnya, dia sempat mengalami masalah kesehatan, karena perasaan putus asa, kecewa, bahkan dirinya drop berkali-kali.
Sulit, sangat sulit untuk tidak menghubungi Jingga. Dia bahkan meminta salah satu temannya, untuk sesekali melihat Jingga, juga segala kegiatannya. Kemudian apa yang dia dapatkan? Selalu Leo, lagi-lagi Leo. Sepertinya, Jingga tak bisa pergi jauh darinya.
Baiklah, kalau itu mau Jingga. Rakai terima, walaupun dia harus menekan perasaannya, kehilangan tempat pulang untuknya, dan cinta sebagai candunya. Baiklah, Rakai benar-benar mengalah kali ini.
Mona memang berulang kali meminta Rakai untuk menemui Jingga secara langsung. Tapi Rakai sudah membuat keputusan.
"Jingga udah sama Leo, Ma. Aku nggak bisa apa-apa lagi."
"Kamu nggak bisa ngejudge gitu aja, hanya dari sekedar foto. Perkara benar atau salah, kamu harus mastiin sayang."
"Udah cukup Ma, Jingga udah punya pilihan. Dia punya hak cinta dalam hidupnya."
Hingga, begitu Rakai pulang kampung. Dia pun tak ada niatan menemui Jingga. Sebuah dilema besar memang. Karena tahu sendiri, dan sudah malas mengurusi hal yang tidak tahu mau dibawa kemana. Lagipula, hanya Rakai yang sepertinya berjuang. Jadi, dia lelah. Ya, lelah. Cinta itu memberi dan menerima. Kalau hanya satu yang memberi, itu tidak adil namanya.
Fokus untuk bisnisnya. Bertemu berbagai macam orang. Membuatnya sedikit bosan. Hatinya juga ingin mencari sesuatu yang baru. Meskipun tidak bisa sepenuhnya. Rakai mencoba mencari pengganti.
Olive, dia seorang gadis. Ya, tentu saja gadis. Bertemu di sebuah seminar para influencer muda. Cerdas, dan begitu asik saat mengobrol. Ringan dan banyak tawa. Bekerja sama dalam bidang yang sama pula.
Berlangsung selama satu tahun. Rakai nyaman-nyaman saja bersamanya. Tidak ada masalah. Tapi satu, Mona tidak seratus persen menyetujui keputusan Rakai. Wira, sang Papa juga nampak kecewa, tapi memasrahkan segalanya pada Rakai.
"Kai, menikahlah dengan seseorang yang kamu cintai sepenuh hatimu. Wanita yang bisa menjadi sahabatmu. Wanita yang tulus. Lucu dan bisa membuatmu tertawa, karena hidup selalu butuh yang namanya tawa. Wanita yang punya impian sama denganmu, kendatipun dia punya mimpi sendiri, yang harus kamu dukung. Wanita yang membuatmu berjalan ke arah yang lebih baik. Kalau kamu sudah menemukannya, nikahilah dia disaat yang tepat. Jadilah suami dan Ayah terhebat bagi istri dan anak-anakmu. Karena anakmu tidak akan mendengarkan perkataanmu, tapi menirumu."
Hanya setelah mendengar nasihat Wira. Rakai cukup berpikir keras, saat akan memilih tambatan hatinya. Ada rasa ragu. Tidak ada yang salah dari Olive. Dia memenuhi kriteria yang Wira bilang. Tapi yang Rakai tangkap. Atau hanya Rakai yang memang berpikiran seperti itu. Pesan itu, bukan untuk Olive. Melainkan Jingga.
Siapa yang tidak tahu Jingga? Seluruh keluarganya kenal, yah, memang Jingga humble. Mereka juga menyayangkan, ketika mendengar kabar hubungan Rakai dan Jingga berakhir. Tapi apa mau dikata?
Kenapa harus Jingga? Lagi-lagi Jingga, seakan menghambat masa depannya, yang seakan tak bisa lepas dari hidupnya. Olive pun belum tahu tentang Jingga. Tidak ada yang dia ceritakan sedikitpun tentang masa lalunya. Baginya, itu bukanlah sebuah prioritas untuk Olive ketahui.
"Kai, jangan ngelamun. Mikirin apa, sih?"
"Nggak kok."
"Aku bawain kamu bekel." Olive mengeluarkan kotak makan yang sengaja dia bawa. Mereka memilih makan di kantin kantor. Sengaja Olive datang ke kantor Rakai, tanpa memberi tahunya. Memberi kejutan pada seseorang yang dia sayang boleh, dong? "Enak, nggak?"
"Kapan kamu masak nggak enak?" Balas Rakai dengan senyum menawannya.
"Syukur, deh. Eh, Kai, Papa lagi kesini. Ada yang mau dibicarain katanya."
"Kayaknya serius." Rakai membenarkan posisi duduknya. Mengobrol lumayan lama, sembari menghabiskan bekal dari Olive. Saat Papa Olive datang, mereka langsung menuju ruangan Rakai. Seperti biasa, mempersilahkan duduk, dan sedikit bertegur sapa, supaya suasana menjadi lumayan santai.
"Nak Kai, langsung saja, ya? Saya tidak suka basa-basi. Kapan kamu akan melamar putri saya?"
🍃🍃🍃
Begitu spanengnya Rakai. Sudah meminta bantuan Wira juga Mona. Tidak juga membantunya langsung membuat keputusan. Mungkin Olive juga ingin segera mendapat kepastian tanpa menunggu lama. Tapi, dia juga kudu memikirkan matang-matang.
Teringat lagi kata-kata menusuk dari Mona yang sepertinya masih dendam kesumat pada Rakai.
"Kamu nggak pikir panjang saat ninggalin Jingga."
Rakai tahu, Mona masih kecewa. Dia bukan benci. Iya, Rakai tahu, Mona sangat sayang pada Jingga. Begitu kenal, dia sudah menganggap Jingga seperti anak kandungnya sendiri. Berharap menjadikannya mantu. Tapi takdir berkata lain. Mereka harus berpisah, karena sebuah hubungan yang mulai kurang sehat bagi Rakai.
Berhubung sekarang Rakai sedang menjalin sebuah hubungan. Mungkin ini memang jawaban dari segala doa yang Tuhan kabulkan. Dia akan segera membuat keputusan yang menurutnya tepat. Segalanya harus ada titik akhir. Tidak ada lagi koma dalam hidupnya. Intinya, segalanya harus ada akhir. Agar semuanya selesai, pada jalannya masing-masing.
🍃🍃🍃
Lanjoot!
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Habis Terang ✔
RomanceSELESAI Meski tak bercahaya, bukan berarti gelap. ㅡ Walau Habis Terang ㅡ Hoiland. Cover by me. Supported by Canva. ©2019, Februari.