"Gue punya tiga permintaan,"
"Dasar kardus, bucin," gumam Jingga. Pasalnya, Leo sedang pura-pura, sok-sokan pusing. Padahal dia sudah kembali bugar saat melihat Senja, di pagi hari. Kebetulan hari Minggu. Senja sama Jingga bermaksud menjemput pulang Leo. Meskipun sudah ada keluarga, tapi Leo, ya, Leo, banyak maunya.
"Ngomong apa lo, Nana? Gue denger tahu!" Jingga melengos, dia memilih pindah ke sofa penunggu pasien di samping ranjang. Ruang pasiennya, sedikit banyak mirip rs. Hanya saja, sedikit sempit.
"Nak Senja, kakinya gimana?" tanya Nindha, yang semalam sudah berkenalan. Hasan dan Kaif yang tak jua ketinggalan ingin tahu siapa gerangan gadis cantik nan mempesona, penarik hati Leo, mereka sedang pulang sebentar, siang nanti bakal balik, menjemput Leo.
"Udah baik, tante."
"Duh, jangan panggil tante, bunda aja."
"Wih, bunda udah kasih lampu ijo." Seloroh Leo, membuat Senja tersipu, bahkan pipinya merona. "Eh, tunggu, kaki lo kenapa?"
"Nggak papa, kemarin keseleo."
"Ya ampun, tapi udah baik kan?" Senja mengangguk. "Tiga permintaannya buat lo aja deh," Senja terkejut tak percaya. "Sebagai hadiah, udah nolong gue."
"Yaelah, dasar modus, harusnya kita tinggalin tadi malem," Jingga beranjak keluar dari ruangan itu. "Ati-ati, Leo penuh tipu daya setan yang terkutuk. Paling diambil lagi itu permintaan." Ucap Jingga sebelum benar-benar keluar dari sana. Dia bisa mendengar teriakan membahana Leo.
Jingga duduk di kursi panjang yang ada lorong. Kepalanya, dia sandarkan ke tembok. Rasanya pening. Namun, maniknya otomatis terbuka ketika merasakan sesuatu hangat mengalir di hidungnya. Jingga beringsut, berderap menuju toilet. Benar saja, dia mimisan ㅡ lagi. Beruntung, tidak banyak. Ronanya sudah tidak jingga lagi, tapi pucat. Sepertinya, ah, bukan sepertinya lagi, Jingga memang merasa lelah. Dia memilih duduk sebentar di atas closet yang dia tutup. Guna mengistirahatkan tubuhnya.
🍃🍃🍃
Hampir saja Jingga terbentur jendela kalau saja dia tidak bangun. Bagaimana tidak, dia sedang terlelap, terus ditoyor seenak udelnya sama Leo. Jingga hanya menatap Leo geram. Kalau saja Leo tahu, betapa berat kepalanya Jingga saat ini. Dia ingin tidur di kasur dengan nyaman. Tapi, malah Hasan menepikan mobilnya ke sebuah saung. Artinya, Hasan mengajak semuanya makan siang. Jingga tidak nafsu.
"Turun cepetan!" titah Leo bak majikan, memaksa Jingga. Leo turun setelah Jingga, dan menyambut Senja dengan uluran tangan, ala-ala pangeran menyambut tuan putri. Iya, pangeran, pangeran wanna be. Dasar bucin.
"Ayo, Jingga." Ajak Kaif, karena Jingga masih anteng, belum jalan, dengan langkah sedikit malas. Jingga menyusul yang lain. Cukup menunggu lima belas menit, pesanan ikan bakar mereka sudah hadir di meja. Suasana saung juga, cukup adem karena sedikit terbuka. Khas, dengan tempat lesehan, menambah nikmat makan siang mereka. Tidak bagi Jingga. Tubuhnya minta ngaso, sungguh. Tangannya bahkan sudah gemetaran, karena lemas, bukan karena lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Habis Terang ✔
RomanceSELESAI Meski tak bercahaya, bukan berarti gelap. ㅡ Walau Habis Terang ㅡ Hoiland. Cover by me. Supported by Canva. ©2019, Februari.