WARNING!
Soooooooo CRINGYMasih berdiri di depan cermin, dengan celana belel, kaos oblong dan kemeja flanel. Semalam Jingga tak bisa tidur. Padahal dia sudah membuat keputusan untuk hari ini. Tapi tetap saja rasanya berat.
Apa yang harus dia lakukan?
Tak ada yang bisa dia hubungi. Mungkin orang lain bisa mengerti, namun tidak semua bisa memahami. Kecuali dirinya sendiri.Mengacak rambutnya frustasi. Sungguh dia tidak ingin melakukan ini, tapi dia harus. Sulit saat Jingga harus menentukan pilihan dan membuat keputusan. Perlu pertimbangan ini dan itu. Agar dapat menentukan pilihan dengan tepat sesuai dengan hati nurani dan nalar, karena yang dibutuhkan bukan hanya menentukan dengan menggunakan hati, namun juga akal sehat dan logika, serta Jingga harus lebih realistis. Tentu saja, karena ini menyangkut masa depannya kelak. Sepertinya lebay sekali. Tapi itu memang kenyataannya.
Mantap, setelah menghembuskan napas guna menenangkan diri. Tungkainya dia langkahkan, walau terasa lemas. Seperti apa yang telah dia pikirkan, juga dia renungkan semalaman. Semoga pilihan hati dan otaknya, tepat.
🍃🍃🍃
Norak, pasti Jingga akan bilang begitu. Bagaimana tidak? Rakai menaburkan bunga mawar merah disepanjang pintu masuk sampai tempat makan yang akan dia dan Jingga gunakan, bilang saja flower road. Jangan lupakan pencahayaan yang dia setting menjadi remang-remang. Juga lilin-lilin kecil yang dia nyalakan memberikan kesan makin romantis. Sengaja Rakai mendekorasi apartemennya sedemikian rupa. Yang pasti akan membuat Jingga merinding seketika. Membayangkan ekspresinya yang mual, dan sebal dalam waktu yang sama. Rakai terkekeh sendiri.
Merasa puas dengan kerjanya. Kembangan senyum Rakai sangat sempurna. Berharap Jingga segera datang. Membuka pintu apartemennya dan kejutan!
Ting Tung!
Baru juga dipikirkan. Suara bel intercom datang menyambangi telinganya. Berjalan dengan bahagia dan terus tersenyum bagai orang gila. Sengaja tak melihat layar yang menampilkan siapa-siapa disana, memencet asal tombol, bergegas membuka pintu.
"Selamat datang ... "
🍃🍃🍃
Deg-degan, serius. Sudah siap di tempat janjian mereka. Sebuah kafe klasik. Ditemani secangkir teh sebagai partner menunggunya. Mengeluarkan sebuah kotak hitam dari saku coatnya. Membukanya lagi, lalu tersenyum penuh arti. Memandangnya terlihat cantik, apalagi kalau Jingga memakainya. Iya, sebuah cincin. Rose gold ring, desainnya sangat simpel sesuai dengan karakter Jingga. Dengan satu mata berlian di tengah. Leo akan melamar Jingga hari ini.
Datang lebih awal. Agar bisa mempersiapkan mental. Tapi malah tingkat kegerogiannya menjadi lebih besar dibanding tadi. Padahal dia sudah sangat pede sejak berangkat. Semoga kalimat yang dia susun tidak hilang begitu saja.
Berkali-kali menilik jam dan pintu kafe, kalau-kalau Jingga datang. Sekian kali denting lonceng pintu berbunyi. Belum juga muncul itu batang hidung Jingga. Jika Jingga muncul dari balik sana, dia akan segera melambai secepatnya. Mencoba mengusir kegugupannya lagi, dengan menyeruput teh di depannya.
Klinting!
Matanya langsung menuju ke sumber suara. Yaitu pintu, barangkali Jingga yang tiba.
🍃🍃🍃
" ... Bibi."
Bibir itu melengkung dengan indahnya, walau wajahnya keriput. "Iya. Aden lagi nungguin siapa? Kok kayaknya seneng banget? Pasti bukan Bibi, ya?"
Tertawa renyah, "Jingga, Bi." Bibi ber-oh ria mendengar penuturan Rakai. "Buruan masuk, Bi. Aku tunjukin sesuatu." Menariknya tak sabar. Dan dalam hitungan detik wanita paruh baya itu terperangah, tentu saja kalau si Bibi.
"Bayangin Bi, Jingga dateng kesini pakai baju kayak biasa. Kalo nggak kaos ya kemeja." Terbahak. "Pasti lucu, terus misuh-misuh."
Bibi menepuk lengan Rakai pelan tapi berasa, sampai Rakai meringis dibuatnya. Asisten rumah tangga satu ini memang sudah dianggap saudara oleh keluarga Rakai. Jadi tak segan untuk menegur, bahkan menjitak sekalipun. "Bibi malah bayangin Non Jingga pakai gaun."
"Pfft!" Rakai tenggelam dalam tawanya. Ditatap heran oleh Bibi. "Nggak mungkin lah, Bi. Bibi ngarang."
"Bibi yakin."
"Iyain, deh." Geleng-geleng kepala Bibi melihat kelakuan anak majikannya itu. Daripada ikutan gendheng. Bibi memilih nyelonong masuk, ke dapur. Menyiapkan makanan yang Rakai pinta. Tentu saja dimasak di rumah, yang memang lengkap alat masaknya. Kalau di apartemen Rakai, tidak ada apapun. Ya iyalah! Rakai jarang menempatinya.
Tak sabar, Rakai segera bersiap. Mengenakan pakaian terbaiknya. Berdandan ala laki-laki tentunya. Memakai parfum yang Jingga sangat sukai. Segalanya tertuju pada Jingga saat ini. Jangan lupakan, senyum yang terus tercetak jelas di wajahnya. Membuat tingkat ketampanan Rakai naik seribu persen.
Menit beralih jam, bergantian menengok jam dan pintu. Tak ada tanda-tanda kedatangan Jingga dari balik sana. Mulai gelisah tentunya. "Non Jingga mungkin telat kesininya." Si Bibi mengingatkan dengan halus.
Mendesah pasrah, Rakai beranjak dari kursi. Lalu mengeluarkan sebuah ring box berbahan kayu, bentuknya bulat, diatasnya tertulis it was always you. Memandangnya sejenak. Lalu tertawa lirih, "Jingga pasti nggak sempet kesini. Titip ini, kalau Bibi ketemu dia. Aku berangkat, Bi. Bibi sehat-sehat ya?" Terpikir, Jingga pasti menemui Leo. Berarti dia sudah memilih. Baiklah, mungkin Rakai bukan yang Jingga butuhkan. Ya, tentu saja. Jingga masih menyukai Leo, dan ada kesempatan pula. Buktinya? Jingga merespon Leo. Marah? Tentu saja. Rakai kecewa, ini kesempatan terakhir Rakai dan terbuang sia-sia. Dia harus pergi, untuk waktu yang tidak ditentukan. Atau, dia tidak akan kembali pulang.
"Aden nggak mau nunggu sebentar lagi? Pasti Non Jingga masih di jalan." Lagi-lagi hanya menyunggingkan bibirnya membentuk bulan sabit, untuk menghargai usaha Bibi menahan Rakai agar tidak beralih tempat sejenak.
"Nggak usah, percuma juga. Aku pamit, Bi." Yang diharapkan saja tidak datang.
Menatap nanar Rakai yang mulai melangkah pergi, menghilang dari balik dinding. Dengan hati yang remuk pastinya. Tapi Bibi juga bisa apa memangnya? Rakai juga punya pilihan bukan? Biar dia juga yang memutuskan.
🍃🍃🍃
Open the next page...
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Habis Terang ✔
RomanceSELESAI Meski tak bercahaya, bukan berarti gelap. ㅡ Walau Habis Terang ㅡ Hoiland. Cover by me. Supported by Canva. ©2019, Februari.