31. Lalu Butuh Apa Lagi?

51 6 2
                                    

Kenyataan kalau Jingga melindungi Rakai membuat Ian geram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenyataan kalau Jingga melindungi Rakai membuat Ian geram. Tapi juga kasihan, sebab Jingga cuma bisa makan bubur karena susah dibawa mengunyah.

"Abang, nggak mau lihat lagi lo ketemu sama Rakai." Jingga meletakkan sendoknya yang mengambang. Ian sebegitu tidak terimanya ketika tahu Jingga bertemu orang yang sudah menyakiti hati Adiknya itu.

"Aku kenyang." Jingga menarik dirinya dari kursi. Tapi sebelum itu, Ian menginterupsi atensinya.

"Kalau gue lihat lagi lo nemuin dia. Itu adalah akhir buat kalian. Lo, bakal gue kirim ke tempat paman di luar negri. Lagian, lo udah ditawarin job disana. Satu hal lagi, gue udah nggak restuin kalian berdua." Singgih, Gita dan Rara, cuma bisa memandang kepergian Jingga melas.

"Bang, kamu nggak seharusnya kayak gini. Papa tahu Adek segan sama Abang. Biar Adek yang tentuin kebahagiaannya sendiri. Abang nggak berhak. Ini hidup Adek."

Ian terkekeh samar. "Pa, Papa masih berharap mereka bersama? Lagian, ya, Pa, orang kayak Rakai, udah minta maaf pun, nggak ada jaminan kalau dia nggak bakal nyakitin lagi nantinya. Salah Rakai udah rusak kepercayaan aku. Udah, lah, Pa. Aku berangkat."

Singgih, Gita, Wira, serta Mona memang sudah bertatap muka. Berbicara antar keluarga. Menyelesaikan kesalahpahaman antara keduanya. Mereka sudah sepakat, kalau misal Rakai dan Jingga kembali bersama. Itu tidak apa. Asal mereka mau. Lagipula, mereka masih saling cinta. Lalu butuh apa lagi? Tapi, problem saat ini adalah Ian yang sangat-sangat tidak setuju perihal 'rujuk'nya Jingga dan Rakai.

🍃🍃🍃

Menjalani hari-harinya seperti biasa. Hanya saja, jiwanya berbeda, kosong. Terhitung sudah enam bulan, terakhir Jingga bertemu Rakai, dan sebaliknya. Jingga menuruti kemauan Ian. Namun, sikapnya juga berubah pada Ian. Dingin.

"Kenalin, ini Adek gue. Jingga." Keduanya bersalaman, Jingga dan teman Ian, Rama. Memperhatikan cara pandang Rama, Jingga sudah tahu. Rama sudah tidak tertarik. Dari caranya ngobrol, dan gesturnya. Telah banyak yang Jingga temui, teman Ian, lah, kolega, lah. Tidak ada satupun yang mau menerima Jingga apa adanya dia.

"Bang, bicara, bentar."

Di balkon yang cukup luas, menjadi tempat Jingga mengajak bicara Ian. "Mau sampai kapan?"

"Apanya yang sampai kapan?"

"Abang nglakuin ini?" Jingga sedang menahan tangisnya sekarang. "Kenalin gue sama temen-temen lo, yang bahkan nggak ada secuil pun mereka mau sama gue?"

"Jangan pesimis dong Dek, kan, lagi usaha." Usaha apa bangsul?

"Abang ngrasa nggak, sih? Kalau gue di remehin? Abang nyadar nggak?"

"Ngomong apa si Dek?" Gagal, Jingga seperti kembali disakiti. Malah sama Abangnya sendiri. Satu bulir meluncur bebas di pipi mulusnya.

"Yang mereka cari, bukan perempuan kayak gue." Jingga menunjuk dirinya sendiri. "Yang mereka harepin, bukan perempuan kayak gue. Lo mikir nggak si Bang? Lo udah permaluin gue disana. Ini udah terjadi berkali-kali, Bang. Lo emang tunjukkin kalau gue Adek lo, tapi lo nggak ngasih apa yang mereka mau. Kalau lo tahu, mereka mandang remeh ke gue."

Walau Habis Terang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang