"Mbak,"
Karena tak ada jawaban, Ishan memutuskan untuk masuk ke kamar Jingga. Yang tengah duduk memunggungi Ishan. Menatap jendela yang setengah terbuka.
"Udah, yuk, berangkat." Masih tak ada respon. Diam tanpa kata. Ishan paham dengan apa yang dirasakan Jingga saat ini. Terlihat, Jingga mengulum bibirnya. Ishan mendekat, berjongkok di hadapan Jingga. "Mbak takut?"
Dwimanik milik Jingga perlahan beralih. Matanya berair. "Nggak papa." Imbuh Ishan. "Kemo nggak sakit mbak, asal kondisi tubuh mbak fit. Aku jamin, nggak akan ada efek samping yang mengerikan."
Meremas celananya, likuid bening itu lagi-lagi meleleh. "Kenapa aku penyakitan gini, si, mas?"
"Sst, mbak nggak boleh ngomong gitu. Kita obatin, pasti sembuh." Jingga makin terisak kencang, rasa yang selalu sama, rasa takut itu semakin menjadi. Ishan bergerak memeluk Jingga, mencoba menenangkan sebagaimana bisanya.
Setelah melakukan biopsi dan CT scan, diketahui bukan breast cancer, namun limfoma, kanker darah limfatik, yang mulai menggerogoti tubuhnya perlahan. Benjolan yang ada di ketiak Jingga bahkan sudah membesar, menjadi 22 senti, yang tadinya hanya 12 senti. Tipe kanker limfoma yang Jingga idap, adalah tipe agresif, karena lebih cepat menjalarnya. Harus segera melakukan kemo, karena penyakitnya berkejaran dengan waktu.
🍃🍃🍃
"Kemana sih, Nana?" Hampir saja Leo membanting ponselnya. Jingga tak bisa dihubungi sejak kemarin. Ya, Leo belum ke rumahnya, sih. Tapi setidaknya, hubungi, lah, sahabat karibnya ini. "Nana!"
Berjingkrak, kegirangan. Mengejar Jingga yang sedang mendekat. Lalu merangkul Jingga segaya Leo yang srudugan. "Lo kemana aja, sih? Tiga hari nggak masuk? Lo sakit?"
"Biasa lah,"
"Ya, seenggaknya kabari gue dong."
"Yaelah, elonya kencan mulu."
"Hihi, tahu aja lo." Leo menggelitiki dagu Jingga dengan bahagianya. "Makan, yuk?"
Ah! Dasar, Leo kampret. Setelah menjalani kemo tempo hari. Jingga jadi tak nafsu makan. Apalagi sehari setelah kemo, Jingga merasa kelelahan, punggungnya juga sakit. Ditambah nafsu makannya turun, dan hanya mau makan, apa yang Jingga mau. Sebenarnya, sugesti, sih.
"Le, gue nggak laper Le."
"Ih, Nana gitu deh. Gue traktir deh, kan gue baik." Cih! Baik apanya? Ngeselin iya. Efek cemburu, nih, Jingga. Jarang-jarang Leo baik begini. Pasti ada kemauan terselubung, nih.
Begitu duduk di singgasana. Leo yang membawa dua piring batagorㅡelah! Kirain apaan?ㅡlangsung memberikan satunya buat Jingga. "Le, lo mau apa si? Ngomong aja, sih, nggak usah pake nyogok."
"Sabar dong, Nana." Leo berdehem, membenarkan duduknya, lalu merapikan rambut dan bajunya. Jingga memutar bola matanya jengah. Tapi, kenapa Leo semakin tampan kalau dilihat lamat. Apa ini efek jatuh cinta?
"Le, kelamaㅡ,"
"I love you," oke, salahkan Leo kalau Jingga kena serangan fajar, eh, jantung. Jingga tak bisa, tak tersenyum lebar. Ada ribuan kupuㅡkup, ah! Bukan, tapi pusat kesenangan di basal ganglia baru saja diaktifkan. Jingga merasakan keringat dingin pada telapak tangannya, jantungnya juga berdegup. Bibirnya tak hentinya, melengkungkan sebuah senyuman. "Senja,"
Hah! Apa? Yang barusan Leo katakan? Jingga salah dengar atau bagaimana? Senja?
Bego! Jingga bego! Kenapa tak terpikirkan olehnya? Apa Jingga mendadak oon? Dia lupa, fakta bahwa Leo menyukai Senja. Kenapa tadi dirinya langsung sesenang itu?"Dia bakal jawab apa? Coba, lo pura-pura jadi Senja." Apa sebenarnya yang ada dipikiran Leo? Berlagak seperti Senja? Jingga tertawa dalam hati.
"I love you too," tidak, Jingga tidak mengatakan itu sebagai Senja, tapi dirinya sendiri. Jingga menghela napasnya berat, lalu memakan batagornya brutal.
"Senja pasti bakal jawab itu, kan?" Leo berceloteh sendiri, Jingga tak peduli. "Nan, lo kelaperan?" Jingga hanya terus memakan batagor itu hingga tandas. "Eh, Nana, kenapa lo nangis?"
Menghabiskan air mineralnya, lalu menyeka air matanya. "Batagornya pedes, udah, ya, gue mau ke perpus."
Sembari melahap batagornya, dan senyum kotak yang masih bertengger di wajahnya. "Makasih, ya, Na?" Jingga mengangguk, dalam hatinya dia juga mengatakan ㅡMakasih Leo, udah ancurin hati gue. "Kayak gini, pedes Nan?"
Berterima kasihlah pada Leo. Berkat Leo, Jingga merasakan jatuh cinta, namun berkat Leo, Jingga juga merasakan patah hati. Hah! Memang apa yang mau cowok harapkan dari Jingga? Hari yang buruk, hanyalah hari buruk. Kita harus merasakan kesedihan untuk sebuah kebahagiaan nanti.
🍃🍃🍃
Jadwal kuliah Jingga benar-benar berantakan selama enam bulan ini. Harus kemo, lalu efek setelah kemo yang dapat membuat Jingga dalam keadaan tidak baik. Apalagi kalau tubuh Jingga sedang tidak fit, efeknya akan berlangsung seminggu, dan lagi, Jingga harus berkali-kali mengeluarkan isi perutnya. Segala rambut, sampai alisnya pun hampir gundul sekarang.
Demi kenyamanan, meskipun keputusan yang diambil sangatlah berat. Tapi, keluarga sepakat, untuk fokus pada pengobatan Jingga terlebih dahulu.
"Lo mau pergi kemana?"
"Keluar kota,"
"Terus kuliah lo?"
"Gue kuliah disana."
"Na?"
"Apa?"
"Gue gimana?"
"Kan ada Senja. Lo lupa kalau Senja pacar lo?"
"Ati-ati, ya? Kabarin gue kalau lo nyampe sana."
"Iya, bye Le, Senja. Gue pasti kangen banget sama kalian. Oh iya," Jingga mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Gue bingung mau ngasih apa," gelang couple buatan Jingga, dari kabel headset rusak. Jingga sendiri yang memasangkan gelang itu di kedua tangan Senja, juga Leo.
"Na,"
"Ya?" Leo seketika menarik Jingga ke pelukannya, hampir, Jingga hampir saja menangis. Tapi dia berhasil menahannya.
"Lo baik-baik, ya, disana? Selalu hubungin gue." Jingga cuma tersenyum, dia tidak mengiyakan atau mengatakan hal lain.
"Gue pamit. Dah!"
🍃🍃🍃
9 Tahun Kemudian
Dari sana, aku sadar, aku seperti menjadi orang ketiga diantara mereka. Jingga menyukai Leo, dan Leo bergantung pada Jingga. Mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Aku ingin memutar roda waktu, tapi sungguhlah tak mungkin terjadi. Setelah aku menikah dengan Leo. Aku tak pernah lagi mendengar kabar dari Jingga. Seperti menghilang ditelan bumi. Apa aku membuat hatinya sakit lagi?
"Apa itu, sayang?"
"Buku diary Mama."
"Dimana kau menemukan itu?"
"Dari sana."
"Kyra, sudah Papa bilang, jangan sentuh barang-barang Mama!"
"Papa jahat! Papa egois!"
"Kyra!"
🍃🍃🍃
To be continued
Mulmed bukan milik ana.
Terima kasih sudah membaca.Hoiland
Wonosobo, 09 Juni 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Habis Terang ✔
RomanceSELESAI Meski tak bercahaya, bukan berarti gelap. ㅡ Walau Habis Terang ㅡ Hoiland. Cover by me. Supported by Canva. ©2019, Februari.