4. Terima Kasih Leo

169 12 22
                                    

"Leo nggak nebeng?"

Jingga menggeleng. "Nggak bang, dia pake motor." Ian menjatuhkan rahangnya, tak percaya. "Serius,"

"Okedeh." Ian melajukan mobilnya, tak ada pembicaraan selama perjalanan ke kampus. Cuma terdengar lagu Maroon 5 ㅡ Payphone, dari player di ponsel abangnya.

Rasanya sepi, biasanya ada perusuh. Jingga yang memang kelihatan anteng, digugah sama Ian. "Dek!" Jingga terkesiap, "malah bobo. Udah sana masuk."

"Abang nggak masuk?"

Ian menggeleng. "Nggak, abang free. Dah sono, ntar telat."

"Iya," setelah pamit dan salim sama Ian. Jingga bergegas masuk gedung kampus.

"Nan!" tidak perlu menengok untuk tahu siapa gerangan. Leo langsung menyampirkan lengannya di bahu Jingga. "Lo beneran udah sehat kan?"

"Udah,"

"Penasaran nggak?" Leo menangkupkan kedua tangannya ke kedua sisi pipi Jingga, menghadapkan wajah itu lurus tepat ke arahnya. Sedikit mendongak, karena beda tinggi.

"Sama apa?"

"Mahasiswi barunya lah, Sheril aja kalah populer sekarang." Leo menarik bahu Jingga, mereka berjalan beriringan. "Namanya Senja. Lembayung Senja. Nama kalian serasi, ya? Tapi nggak sama orangnya."

"Maksud lo!"

"Ehe, kagak-kagak. Pis! Pis!"

Jingga memperhatikan raut Leo, saat dia menceritakan tentang Senja. Wajahnya sangat bahagia, matanya berbinar, muncul kemerahan pada pipi Leo. "Gue deg-degan sumpah Nan, kalau depan dia, gue gerogi mau ngomong apa. Biasanya juga nggak gitu tahu Nan."

Jingga tersenyum, "Gue harus dapetin dia." Leo lagi-lagi menarik paksa Jingga. Tak sadarkah, Jingga baru sembuh, hah?

🍃🍃🍃

"Lah gue duduk dimana?"

"Oh, ini punya lo?" tanya cewek cantik berambut panjang, jangan lupakan senyumnya, ya, benar, Jingga akui, Sheril saja kalah. Dia baru saja berkenalan dengan Jingga. Wah, Jingga saja terpesona.

"Nggak usah, gue bisa duduk di belakang." Ucap Jingga sembari tersenyum. Lalu pergi ke belakang Leo yang lagi curi-curi pandang pada Senja.

Jingga merasa gagal menjadi cewek. Apalagi, saat melihat Senja. Melihat orang lain bisa berlaku sebagaimana mestinya. Cuma, Jingga, tidak bisa. Dia terlanjur nyaman dengan apa yang nemplok di badannya. Ah! Sudahlah! Tak akan ada habisnya memikirkan hal itu.

"Jingga," Jingga mengalihkan fokus pada si pemanggil, teman sekelasnya Rudi. "Boleh nggak, minta bantuan."

"Apa?" bukannya Jingga yang menjawab, malah Leo. Jingga cuma melirik tak nafsu pada Leo.

"Gini, kita kan mau ada pensi, buat nyambut maba." Jingga manggut-manggut. "Tapi, drummer kita kecelakaan."

"Trus?"

"Leo ih, dengerin kalo orang ngomong!" tabok Jingga pada lengan Leo. Senja yang melihat, hanya tertawa geli.

"Gue denger, lo bisa ngedrum. Bisa gabung sementara nggak?" Jingga menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung. "Gantiin sebentar."

"Oke siap!"

"Lele!"

"Ampun nyai!"

"Diem lo!" lagi-lagi tingkah keduanya membuat Senja tergelak, dan itu mengalihkan perhatian Leo. Senja jadi salah tingkah ditatap Leo lamat. Jingga tahu, dia melihat dari ekor matanya. "Ya, gue bisa, sih, cuma udah lama nggak main. Terakhir kali main kan SMA."

Walau Habis Terang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang