22. Masker, Topi dan Air Mineral

1K 214 112
                                    

"Jihoon!" pekik Jeonghan, dengan amat nyaring.

Mendengar panggilan itu, mata Jihoon menelusuri setiap ruang butik yang baru saja dimasukinya. Saat pertama kali bertemu dengan Seokmin, Jihoon memang sempat menanyakan. Seokmin mendapat informasi tentang dirinya dari siapa, hingga nekat mendatangi Universitas Daesik tanpa detail Fakultas. Sampai-sampai pemuda bangir itu harus berjaga di gerbang Universitas. Kalau saja Chan tidak melihat keberadaan Seokmin dan menegur pemuda itu kenapa mencari sang Kakak, sudah bisa dipastikan ia akan melakukan hal yang sama selama berhari-hari.

Begitu mendengar nama Yoon Jeonghan disebut, Jihoon tersenyum puas. Sama sekali tidak menyangka bahwa salah seorang teman sekelasnya di Sekolah Menengah Atas dulu, masih ada yang ingat. Jika mengingat bagaimana tertutupnya Jihoon saat itu, bukankah wajar jika ia merasa khawatir? Jihoon begitu takut kalau-kalau semua teman sekolahnya tidak ada yang peduli lagi padanya.

Senyuman Jihoon beberapa kali lipat meninggi, begitu melihat keberadaan Jeonghan di sana. Berdiri di belakang mesin kasir, melambaikan tangan tanpa ragu. Ahh, Jihoon jadi terharu. Padahal dulu, Jihoon tak begitu memperdulikan Jeonghan. Gadis itu terus mengoceh, meskipun Jihoon tak memperdulikan keberadaannya.

Gadis mungil itu melanjutkan langkahnya. Mendatangi Jeonghan. Mengulurkan tangan untuk bersalaman. Terkesan formal memang. Biarlah. Kaku seperti ini tentu jauh lebih baik, daripada ia masih bersikap seperti dulu. Semenjak kembali berteman dengan Jisoo, Jihoon jadi belajar banyak bagaimana caranya menghargai keberadaan orang-orang di sekitar. Sebab itulah, ia begitu terguncang saat mendapat kabar bahwa sahabatnya itu malah terbaring tak berdaya di sebuah Rumah Sakit. Hingga bertahun-tahun lamanya.

"Astaga... Kamu semakin cantik saja... Apa kabar?" tanya Jeonghan, dengan antusias.

Jihoon tertawa. Yah, beginilah Jeonghan. Tak pernah berubah dari zaman sekolah. Sangat pandai bergaul. "Baik... Kamu? Sudah lama bekerja di sini?"

Jeonghan mengangguk antusias. "Sebenarnya tidak terlalu lama juga. Hampir lima bulan."

Seokmin segera mengajak Jihoon untuk menemui sahabatnya. Namun, dalam versi maneken. Sebenarnya Jihoon sungguh belum siap. Setelah bercengkrama dengan Jeonghan tadi, rasanya memang sedikit membuyarkan kekhawatirannya. Begitu ingat dengan apa tujuan awal ia mendatangi butik MingMing, rasanya merinding. Sahabatnya, Hong Jisoo, telah menjadi patung. Maneken pajangan di sini. Sungguh tidak masuk akal.

Sebelum mendatangi lantai dua, Seokmin membawa Jihoon untuk mendatangi kamar peristirahatan pegawai. Melirik jam dinding di sana, sudah jam sembilan malam. Sebentar lagi butik akan tutup. "Jika kamu bertemu dengan Jisoo, aku khawatir mimpi buruknya akan semakin parah."

"Jadi?" tanya Jihoon, dengan kening yang mengerut. Mengingat ucapan Park Sejun tadi, benar juga. Ada banyak hal yang bisa membuat ingatan Jisoo pulih. Dan jika itu terjadi, roh Jisoo akan pergi untuk selamanya. Tidak akan pernah bisa dikembalikan ke tubuh aslinya.

"Pakai ini," ujar Seokmin, menyerahkan Jihoon sebuah topi dan masker. Bukan miliknya, tapi milik Soonyoung. Karena pemuda itu berangkat kerja menggunakan bus, Soonyoung jadi memakai masker dan topi setiap hari. Untuk perawatan kulit, katanya. Soonyoung khawatir kalau-kalau wajah tampan nan mulusnya terpapar polusi udara.

Jihoon terdiam sejenak, memperhatikan masker dan topi tersebut. "Ini milik siapa?"

Seokmin terkekeh. "Soonyoung. Tenang, ini bersih, kok! Digantinya setiap hari. Tapi ya... Itu sempat dipakainya saat berangkat tadi."

Mengerutkan kening, secara hati-hati Jihoon mendekatkan masker dan topi itu ke hidungnya bergantian. Membaui. Senyumnya terangkat. Tidak buruk. Kedua benda itu malah wangi. Pasti telah disemprotkan parfum sebelum berangkat.

MANNEQUIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang