29. Janji Kelingking

1.2K 235 208
                                    

"Kita ke mana?" tanya Jisoo lagi.

Seokmin sungguh khawatir. Berulang kali ia melirik kedua orangtua Jisoo yang duduk tepat di belakang mereka. Syukurnya Tuan serta Nyonya Hong mampu bertahan tak mengeluarkan suara. Menangis dalam diam. Seokmin takut apabila Jisoo mendengar suara keduanya, gadis itu akan mampu mengingat siapa mereka. Nyonya Hong masih menangis dalam pelukan suaminya. Tuan Hong juga getir menahan isak tangis, menggigit bibir kuat-kuat.

"Kita mengambil hadiahmu, karena bisa bertahan tidak membuka mata sampai aku datang."

"Hadiah?" Jisoo menunjukkan antusiasmenya.

"Ya, hadiah. Kamu ingin menjadi manusia normal, kan? Itu adalah hadiahnya."

"Iya!" Jisoo memekik amat nyaring. "Aku ingin menjadi manusia sepertimu, Seokmin. Apa kita juga bisa seperti Junhui dan Minghao?"

Hati Seokmin mengembang sempurna. Tentu ia sangat bahagia. Cintanya terbalaskan. Namun di sisi lain, hati Seokmin rasanya seperti dicincang. Tinggal beberapa saat lagi, Jisoo akan sadar. Seokmin sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana jika gadis itu tak ingat lagi dengan dirinya.

Mundur secara perlahan, lalu bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa. Ya... Itu pilihan terakhir. Lagipula, memang tak pernah terjadi apa-apa di antara ia dan Jisoo.

Seokmin mengangguk. Menyetujui. "Memang itu tujuanku. Kamu akan menjadi manusia seutuhnya."

"Satunya, bagaimana?" tanya Jisoo lagi.

Seokmin mengunci mulut rapat-rapat. Enggan menjawab.

Tangan kurus Jisoo terangkat naik. Berusaha meraba tubuh pria yang sedari tadi merangkulnya. Mencari posisi pipi Seokmin. Mengelus lembut. "Seokmin, kenapa tidak dijawab?"

Seokmin mengambil alih tangan Jisoo. Digenggam erat, lalu tangan lainnya mengusap puncak kepala Jisoo. Meminta gadis itu agar bersender nyaman di pundaknya. "Tidurlah, perjalanan kita masih jauh. Di luar hujan deras, mobil tidak boleh mengebut."

"Tapi kenapa pertanyaanku tidak dijawab?" protes Jisoo. "Kita akan bersama kan, nanti? Seperti Junhui dan Minghao?"

Seokmin tidak ingin berbohong. Namun, juga tidak ingin masalah ini diketahui oleh Jisoo. Setiap tindakan, pasti ada yang dikorbankan. Seokmin tidak boleh egois. Kehidupan normal Jisoo adalah hal terpenting untuk sekarang. "Jika sudah menjadi manusia, ada beberapa hal yang berubah."

Dalam beberapa saat, gadis yang masih berupa maneken setengah manusia itu terdiam. Mungkin berusaha mencerna ucapan Seokmin tadi. Dan, tebakan itu berjalan lurus dengan gencarnya Jisoo mengajukan pertanyaan lagi. "Apa yang akan berubah?"

"Kamu akan memiliki keluarga. Ayah, Ibu, juga Adik. Setelah kamu menjadi manusia normal, kamu akan tinggal bersama mereka. Di Anyang."

"Kenapa seperti itu? Seokmin tinggal di mana?"

Seokmin mempertahankan posisi mereka. Saling bersandar satu sama lain. Bedanya, Seokmin mulai menutup kedua mata. Tak sanggup membayangkan. "Manusia normal memang seperti itu. Memiliki keluarga. Aku akan kembali ke Seoul, seperti biasa. Bekerja di butik MingMing."

Badan Jisoo menegak seketika. Tangannya kembali melayang entah ke mana. Kali ini bertengger ke pergelangan tangan Seokmin. Menggenggam erat. "Aku ingin ikut denganmu saja. Aku tidak butuh keluarga. Memangnya siapa mereka?"

"Jisoo, jaga ucapanmu. Tidak boleh bicara seperti itu," tegur Seokmin, lalu melirik kedua orangtua Jisoo. Keduanya nampak terpukul. "Aku tidak pernah mengajarimu bicara kasar."

"Tapi kenapa?" Jisoo belum memelankan suara lantangnya. "Kenapa aku harus tinggal di Anyang? Kenapa kita dipisah?"

Seokmin mendesah pelan. Kepalanya mulai terasa pening. "Memang seperti itu peraturannya, Jisoo."

MANNEQUIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang