Satu

2.1K 130 2
                                    

Siang telah datang, matahari bersinar sangat terik. Suhu panas serasa membakar kulit. Segerombolan orang yang terdiri dari dua kelompok yang cukup besar saling baku hantam. Bukan tangan kosong, melainkan menggunakan alat.

Dari semua pertarungan ini, seorang pemuda tampan memiliki rambut berwarna cokelat gelap yang tengah bertarung dengan pemuda lain yang tak lain adalah musuhnya. Seragamnya yang berwarna putih telah berubah menjadi warna merah  darah yang keluar dari beberapa bagian tubuhnya. Tak hanya merah, bajunya pun terlihat kecokelatan karena tanah yang menempel di bajunya. Wajahnya yang putih tertutup dengan warna biru lebam. Sama halnya dengan lawannya.

"Arkana Hardiansyah, apa cuma segini aja kemampuan loe?! Nggak malu sama predikat loe sebagai badboy sekaligus ketua geng SMA 25?! Pecundang!!" Tantang pemuda yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan Arkana. Kondisinya tak jauh berbeda dengan Arkana yang berlumuran darah.

"Menurut loe, loe pemenang?! Loe salah besar, Rayn. Loe cuma pecundang yang kebanyakan bacot!!" Arkana yang semula berdiri dengan sedikit membungkuk memegang bagian perutnya kini telah berdiri tegak. Bahkan sudah siap untuk kembali melayangkan bogeman mentah dari tangan kekarnya.

"Ternyata ketua dari SMA 25 yang terkenal dengan predikat SMA tak terkalahkan se-Jakarta cuma sekedar PECUNDANG!!" Sergah pemuda yang bernama Rayn itu. Seolah tiada kata 'takut' di kamus hidupnya, dengan beraninya dia menantang seorang Arkana Hardiansyah.

"kebanyakan BACOT LOE!!" Arkana melayangkan bogeman tepat di pelipis yang berakibat pada Sidik yang langsung terjatuh. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Arkana terus melayangkan bogeman-bogeman mentah pada Rayn yang sudah tak berdaya.

"Selamanya yang namanya PECUNDANG AKAN TETAP JADI PECUNDANG!!" Sungut Arkana menghempaskan tubuh lemah Rayn. Ia lakukan seolah tak peduli pada Rayn yang sudah tak berdaya. Lalu ia beranjak berdiri membelakangi Rayn.

"PECUNDANG!!" Ucap Arkana cukup keras sembari mengenakan jaket kulit miliknya. Dia melangkahkan kakinya yang beranjak pergi dari tempat itu yang diikuti oleh semua anak buahnya. Sedangkan anak buah Rayn yang melihat ketua mereka kalah hanya bisa diam tanpa melakukan sesuatu hal. Mereka berlarian menghampiri Rayn yang sudah terkapar di atas jalanan aspal.

Luka yang dimiliki Arkana cukup parah, karena darah yang mengalir dari tangan kanannya tak mau berhenti. Darah itu terus menetes di atas aspal, anak buahnya pun sama terluka. Tapi bagi mereka, luka itu bukan apa-apa. Bisa di bilang luka kecil. Mata mereka tertuju pada darah yang menetes dari ujung jari Arkana.

Arkana terus melangkahkan kakinya menuju ke motor miliknya yang terparkir tak terlalu jauh darinya. Salah seorang anak buahnya yang merupakan adik kelasnya berlari menghampirinya dan menanyakan kondisinya. Tak ada jawaban dari Arkana yang terucap, pemuda itu hanya menjawab dengan mengacungkan ibu jarinya mengisyaratkan jika dirinya baik-baik saja. Meskipun pada kenyataannya saat ini bahwa dia tak sedang baik-baik saja. Luka di tangan dan beberapa bagian tubuhnya terlihat jelas cukup parah.

*******************

Di rumah bercat putih dan tentunya mewah, seorang pemuda tampan tengah menghisap rokok di balkon kamarnya. Pandangannya menatap kosong ke arah langit yang tampak mendung. Angin pun berhembus cukup kencang sehingga dia pun  merapatkan jaket yang dikenakannya. Sedangkan di dalam kamar, dua orang pemuda tampan tengah mengobati luka mereka satu sama lain. Terdengar suara ringis kesakitan yang memenuhi kamar itu.

"Aww.. Pelan-pelan sakit, nyet!" Ringis pemuda yang berkaos biru, Rino.

"Loe juga kunyuk, pelan-pelan, sakit tahu." Ringis pemuda satunya, Alvian.

"Loe bego', Monyet!!" Rino menoyor kepala Alvian.

Tak terima, Alvian pun berganti menoyor kepala Rino. "Loe yang bego', Kunyuk !!"

ARKANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang