Sembilan

1.3K 83 2
                                    

Awan mendung menghias langit pagi ini. Tiada sinar mentari yang menghangatkan. Seorang pemuda tampan baru saja terbangun dari alam tidurnya. Wajahnya yang tampan sedikit tertutup dengan kepucatan kulitnya.

"Eeengh.." Lenguh pemuda itu mulai beranjak bangun.

Dengan langkah gontai, Arkana berjalan menuju ke kamar mandi. Karena tubuhnya yang masih terasa lemah dan kepala yang masih terasa pusing, ia harus berpegangan untuk bisa berdiri walaupun tak tegak. Pandangan matanya saat ini tak jelas alias buram.

Tak butuh waktu yang lama, Arkana sudah selesai mandi dan kini hanya berbalut handuk. Karena bagian atas badannya terbuka, tampak jelas lebam di bagian dadanya. Bahkan di bagian pinggangnya masih terbalut perban.

"Kalo diperhatiin badan gue udah kayak kanvas aja. Warna warni." Ucapnya miris menatap pantulan dirinya di cermin.

TOKK.. TOKK.. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.

"Ar, ini gue Ardian. Gue buka pintunya ya." Ardian membuka pintu dan masuk ke dalam kamar Arkana.

"Mau ngapain lagi loe kesini?" Sentak Arkana dengan suaranya yang masih terdengar serak dan lemah. Berdiri pun masih harus bersandar pada tembok.

"Gue cuma mau bawain loe sarapan dan obat loe. Cepetan makan, biar loe bisa minum obat loe." Ardian menaruh nampannya.

"Loe pikir gue penyakitan mesti minum obat kayak beginian." Arkana tersenyum sinis.

"Loe kan kemaren nekat pulang dari rumah sakit. Jadi sekarang, loe harus minum obat. Biar loe nggak sakit lagi kayak kemaren." Bujuk Ardian selembut mungkin.

"Siapa juga yang nyuruh loe bawa gue ke rumah?! Nggak ada kan?!" Arkana mengambil seragamnya dan memakainya.

"Ar, loe mau kemana pake seragam segala?"

"Anak kecil aja tau, yang namanya pake seragam ya ke sekolah. Ngapain juga loe tanya-tanya."

"Gue tau. Tapi kan loe masih sakit. Loe masih butuh banyak istirahat." Cegah Ardian.

"Gue nggak sakit." Arkana mengambil tasnya. Kemudian berjalan begitu saja.

"Loe sakit dan loe harus istirahat total di rumah." Ardian menarik lengan Arkana dan mencengkramnya sangat erat.

"Gue nggak sakit. Loe ngerti nggak sih?! Lagian loe itu kenapa sih? Suka banget ngurusin urusan orang lain. Gue nggak butuh loe sok perhatian sama gue. Lebih baik loe kayak Papa sama Mama. Anggap aja gue ini nggak ada di kehidupan loe. Ngerti!!" Arkana menepis tangan Ardian kasar, lalu pergi meninggalkan Ardian sendirian.

"AR!! ARKANA BALIK!!" Panggil Ardian keras. Namun Arkana mengacuhkannya.

"Ya Tuhan, kenapa dengan keluargaku? Mama dan Papa cerai. Arkana jadi seperti ini. Kenapa semua ini terjadi pada keluargaku?" Batin Ardian menatap kepergian adik semata wayangnya itu.

"Apa yang harus gue lakuin?" Teriaknya frustasi.

****************************

Sampai di sekolah, Arkana langsung melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya. Disana sudah ada si gadis cantik duduk di sebelah bangkunya. Gadis itu menyambutnya dengan senyuman yang sangat manis. Wajah ceria Dania yang mengingatkan Arkana pada seseorang, namun dia masih belum bisa menemukan siapa dia.

"Gue nggak suka loe ikut campur urusan gue kayak kemaren." Ucap Arkana tiba-tiba, sesaat setelah di duduk.

"Hue kan nggak ikut campur, gue cuma mau nolongin loe sama yang lain. Masak iya, gue liat loe lagi dalam kesulitan gue diem aja. Emang gue orang apaan?" Ungkap gadis ini santai.

ARKANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang