ISD-5

275 22 14
                                    

Abid menatap gundukan tanah yang berada didepannya saat ini. Senyum bahagia terukir dibibirnya. Rasa rindu itu selalu hadir dihatinya, tapi setelah ia datang rasa rindu itu hilang entah kemana.

"Assalamu'alaikum, Ma. Ma, Liat deh apa yang Abid dapet hari ini. Abid dapet mendali emas Ma. Seandainya mama disini. Mama pasti bangga banget sama Abid. Ma, Abid rindu banget sama mama. Abid rindu masakan mama, Abid rindu di peluk mama, Abid dirindu diomelin sama mama, Abid rindu semuanya ma. Abid kepingin mama disini, disamping Abid sampai Abid sukses." Abid menangis sambil memegang mendali yang baru saja ia dapatkan. Setelah pengalungan mendali kepada setiap pemenenag, Abid langsung ijin kepada sang senpai untuk pergi ke makam sang mama. 

Ya, Abid sedang berada didepan makam Alula sambil membawa mendali yang ia dapat. Abid ingin Alula menjadi orang yang pertama melihat mendali yang ia raih. 

"Ma, hari-hari Abid terasa sangat sepi karna gak ada mama. Semuanya terasa ada yang kurang, Ma. Sering kali terkadang Abid mendengar papa menangis sambil menyebut nama mama. Papa rindu mama, Abid rindu mama, kita semua rindu mama. Tapi, kenapa Allah ngambil mama cepet banget? Abid tau Allah lebih sayang sama mama. Tapi kenapa?" 

Abid mengahapus air matanya. Tapi tetap saja air mata itu masing mengalir dengan deras, "Mama Abid rindu mama, Abid rindu ma." Tangis Abid terdengar pilu. Abid tidak dapat lagi menahannya Abid benar-benar rindu akan sosok Alula. 

"Ma Abid kepingin ketemu mama," ucap Abid sambil memeluk makam Alula. Rasa rindu itu selalu hadir tanpa diminta. Rasa rindu ingin bertemu itu selalu ada. Setiap malam Abid selalu berharap agar bisa bermimpi bertemu dengan sang mama. Tapi sayang, kita tidak bisa menentukan mimpi apa yang ingin menemani tidur kita pada malam hari.

Dari kejauhan Rasya melihat sang anak yang sedang menangis sambil memeluk makam sang istri. Hatinya tersayat saat mendengar tangisan kerinduan Abid kepada Alula. Ditinggal pergi untuk selamanya dengan sang mama pada saat umur masih menginjak 8 tahun membuat Abid terpukul. 

Rasya tau, jika Abid selalu menangis tiap malamnya, tapi ia mencoba untuk pura-pura tidak tau. Ia pun merasakan apa yang Abid rasakan. Tapi, semuanya sudah kehendak Allah dan Rasya harus menerimanya dengan lapang dada. 

Rasya berjalan mengahampiri Abid yang masih menangis, "Bang." Abid mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang memanggilnya. Walaupun tidak di lihat, Abid tau jika itu adalah sang papa.

"Papa..." ucapnya  dengan suara yang serak dan air mata yang terus mengalir. Rasya mensejajarkan tubuhnya dengan Abid lalu membawa Abid kedalam pelukannya. Tangis Abid makin kencang, air mata Rasya pun sudah bergenang di pelupuk matanya. Abidnya begitu rapuh. Rasya mengusap punggung dan kepala Abid dengan sayang. Ia tidak ingin Abid terus-terusan seperti ini.

"Iklas bang, mama udah bahagia disana nak. Kamu harus kuat. Jangan seperti ini." ucap Rasya pelan. 

"Abid rindu mama, pa. Abid mau ketemu mama." Jawab Abid dengan suara yang terputus-putus. 

"Istigfar, nak. Jangan seperti ini. Kasian mama kamu. Abang harus kuat demi Mama, demi papa dan demi Haura." Rasya tidak dapat menahan air matanya, terlalu sakit baginya melihat Abid yang begitu rapuh. 

Abid mengurai pelukannya, lalu menghapus air matanya. Rasa tersenyum melihat Abid, "Jangan nangis lagi. Jagoannya papa sama mama harus kuat. Sekarang kita kirimkan doa ya untuk mama ya." Abid mengangguk menyetujui ucapan Rasya. Rasya mulai membacakan doa untuk istri tercinta sedangkan Abid yang berada disebelahnya ikut mengaamiinkan setiap doa yang terucap dari bibir Rasya.

°•°•°•°• 

"Bang, kumite nya kapan?" tanya Rasya pada Abid yang saat ini sedang duduk didepannya sambil memakan es krim. Setelah Keadaan Abid memabaik Rasya memutuskan untuk mengajak Abid ke cafe untuk sekedar menghilangkan kesedihan dari anak sulungnya tersebut dan kebetulan ia sudah janjian dengan Abyan untuk bertemu di cafe tersebut.

Imam Satu DojoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang