Abid menggaruk tengkuk-nya yang tidak gatal karena merasa canggung di tatap secara sinis oleh seluruh keluarganya. Bukan seluruh, hanya sebagaian. Karena Rasya - sang papa, tidak ikut menatap Abid dengan sinis, begitu pula dengan Rafi.
"Terus ini, motivasi-nya ngasih surat ini apa?" tanya Talita kesal kepada Anak laki-lakinya tersebut.
"Gak ada motivasi apa-apa loh, Bu. Kan itu buat Abid bukan buat Ibu," Ucap Abid asal dan membuat Talita semakin kesal dengan lelaki tersebut.
"Terus tega ninggalin Oma disini sendiri?" tanya Mira dengan ekspresi yang sudah mulai melembut.
"Gak sendirian Oma. Kan ada Opa, Rafi, Nenek, Kakek, Papa, Haura, Ayah sama Ibu." Terang Abid kepada Oma-nya tersebut.
"Bukan gitu maksudnya, ish."
Abid menghela napasnya dengan kesar. "Abid ngerti kok maksud Oma. Tapi Abid mau kalian semua juga ngerti maksud dan keinginan Abid. Kesempatan ini gak bakal datang dua kali dan Abid gak akan menyia-nyiakannya gitu aja." Terang Abid kepada seluruh keluarganya.
Mereka semua masih terdiam. Terutama Abyan, selaku Ayah kandung dari Abid.
"Ayah tau, kamu semangat ngambil ini karna bisa menghindar dari Marwah kan?" tanya Abyan santai. Walaupun bertanya dengan nada yang santai, ada sejuta keyakinan yang tersirat dari nada bicara Abyan.
Abid menundukkan kepalanya, Terdengar helaan nafas dari seluruh keluarganya, tapi mau gimana lagi? Selain untuk mengindar dari Marwah, Abid juga akan mendapatkan mendidikan dan bimbingan dalam bidang Karate selama disana.
"Abid kesana bukan untuk menghindari Marwah tapi untuk menuntut ilmu, urusan Marwah ya itu biarin aja, kalo pun Abid gak ambil kesempatan itu, Abid bakal tetap menghidari Marwah." ucap Abid santai.
Lagi-lagi mereka kembali menghela nafas mendengar jawaban dari Abid, "Ya udah kalo itu memang keputusan kamu. Opa setuju kok," ucap Alzam dan diangguki oleh Dani.
Karena Alzam dan Dani sudah setuju mau tidak mau Mira dan Insha juga ikut setuju.
"Tapi bakalan sering pulang kan, bang?" tanya Talita dengan wajah sedih.
Abid mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Tersebut, "Abid Pasti bakalan sering pulang. Lagipula kan Papa, Ayah sama Ibu bisa nyusul Abid kesana" ucap Abid lembut. Talita mengangguk setuju, walaupun berat hatinya untuk memberikan ijin kepada Abid untuk berangkat ke Jepang.
Tapi, Talita tidak ingin egois dengan perasaannya. Ini semua demi masa depan Abid. Ia ingin Abid dapat mengharumkan nama Indonesia di berbagai Negara.
"Ya udah gimana kalo malam ini semua-nya tidur disini?" usul Alzam kepada seluruh keluarganya dan mereka semua mengangguk setuju.
"Ya udah, sekalian aja besok kita cari kebutuhan Abid selama di Jepang." Ucap Insha semangat.
Abid tertawa melihat neneknya yang terlihat begitu semangat, "Nek, jangan belanja banyak-banyak. Abid ke luar negeri bukan ke luar kota." Ucap Abid dengan tawa pelan.
"Ya biarin sih, kan bisa di paketin. Kamu nurut aja sih. Komen aja." jawab Insha kesal. Abid tertawa pelan.
"Jangan marah-marah, nek. Nanti cepat tua." Ucap Abid santai. Insha menatap Abid sinis lalu melempar Abid dengan gumpalan tisu yang ada di tangannya.
"Kamu ngatain nenek tua?" Ucap Insah kesal.
"Emang nenek ngerasa?" Jawab Abid dan langsung lari ke lantai 2 dimana kamar-nya berada. Ia takut kena amukan dari Insha.
Abid mentap sekeliling kamar-nya, lalu pandangannya jatuh pada figur foto yang selama ini selalu mengisi relung hatinya.
Abid mengusap foto tersebut dengan sayang, Rasa rindu itu kembali hadir, rasa rindu yang teramat dalam, rasa rindu yang tidak dapat di ucapkan dengan kata-kata dan hanya dapat disampaikan melalui sederetan do'a.

KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Satu Dojo
Spiritual"Wa, lo mau gak?" Tanya Abid ambigu pada Marwah yang sedang memperhatikan adik-adik mereka yang sedang latihan gerakan dasar karate. "Mau apa? Jangan aneh aneh deh lo." Jawab Marwah dengan nada sedikit sinis. Abid tersenyum mendengar jawaban dari M...