Ada yang Hilang

6.4K 448 40
                                    

Tatapan Rayendra itu sungguh membuatku mati sesaat. Lupa akan keadaan diri yang berpakaian tak sepantasnya. Lalu aku cepat-cepat berlari menuju kamar untuk berganti baju.

Bodoh kamu, Anty! Bisa-bisanya bersikap seperti itu. Sudah tahu ada tamu, ya kenapa juga masih ngikutin Mas Dewa. Duh! Mesti jedotin kepala mungkin aku ini biar lebih pintar.

Kupandangi diri di cermin. Wajah ini masih cukup pucat akibat syok melihat murid tak punya kerjaan itu. Gamis sepertinya cocok aku pakai keluar kamar, berharap Rayendra tak memiliki pikiran buruk. Ya ampun, jika diingat itu pengen gigit sandal.

Oh, demi anak tata boga yang tiap praktek makanannya enak, ini sungguh memalukan!

Rasanya tiada harga diri menjadi guru di depan Rayendra. Eh, tapi ada satu hal yang aku pikirkan sekarang. Dia numpang toilet ke sini maksudnya apaan? Dih, alasan anak itu benar-benar nggak jelas. Mana ada orang jam empat pagi numpang buang hajat doang. Ampunnn! Pengen teriak rasanya.

Tunggu, Mas Dewa bakal curiga nggak, ya? Kenapa jadi bikin puyeng gini, sih? Berkali-kali aku menggeleng sambil mengumpulkan keberanian menemui dua orang itu. Huft! Kamu bisa, Anty!

Sebelum keluar, aku pastikan bahwa yang di tubuh ini memang gamis, bukan lingerie. Rambut sengaja kugulung agar lebih rapi.

"Mas ...."

Laki-laki yang tengah duduk di sofa itu seketika menoleh. Bibirnya menyunggingkan senyum setelah memerhatikanku beberapa detik. Mungkin dia suka melihat gamis motif bunga-bunga dengan dasar krem yang sedang kupakai.

"Cantik. Sini," ucapnya sambil menepuk sofa.

"Anak tadi mana, Mas?" Aku bertanya setelah duduk di dekat Mas Dewa. Wajahnya tak terlihat aneh. Kuharap memang semua baik-baik saja.

"Lagi di kamar mandi, tuh. Katanya dia murid kamu, ya?"

Deg!

Apa lagi yang kamu katakan pada suamiku, Rayendra?

Sedikit gugup, aku lalu mengangguk pelan. Bimbang, harus bertanya lebih atau tidak.

"Kok, jam segini dia bisa kelayapan, Mas?"

"Katanya mau ke masjid, tapi perutnya keburu nggak bisa ditahan. Jadi, dia mampir ke sini, karena ingat ini rumah gurunya. Tapi kok alasan dia absurd, ya, Sayang?"

Mas Dewa tampak berpikir. Tangannya mengelus-elus janggut, sedangkan aku merasakan pusing lagi. 

Ya iyalah itu alasan absurd banget, Mas. Kayak nggak ada SPBU kalau dia emang beneran kebelet. Entah apa maksud sesungguhnya dari Rayendra. Ini sumpah bikin deg-degan!

"Udahlah, Mas, nggak usah dipikirin lagi. Bocah biasa nggak jelas kayak gitu. Suruh aja ntar dia langsung ke masjid kalau udah selesai di sini."

Ucapanku barusan bermaksud agar Mas Dewa tak banyak menginterogasi Rayendra. Salah-salah jawab, anak itu bisa saja membokar hubungan kami. Ih, Anty! Hubungan apaan coba?

Mas Dewa mengangguk. Lalu pelan tangannya membelai pucuk kepalaku. Dia sedikit menarik tubuhku agar bersandar pada sofa.

"Sayang, kepalaku sakit karena gangguan tadi," bisiknya dengan wajah memelas.

Oh, iya, aku lupa. Tadi kan kami hampir saja melakukan perjalanan menuju bulan dan gagal karena Rayendra. Argh!

"Sabar, Mas. Ntar lanjut lagi, ya."

Tersenyum aku untuk sedikit mendamaikan hatinya. Jemari kami kini sedang bertautan. Lalu terdengar derap langkah mendekat.

"Ehem ...."

Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang