Dia

5K 411 70
                                    

Selesai makan, aku berjalan menuju ruang latihan. Terlihat sepuluh siswa-siswi sudah ada di depan pintu lengkap dengan pakaian praktek. Di sini hanya ada Rayendra dan Almeera yang kelas tiga. Sisanya kelas dua.

"Siapin sheet dan yang lainnya," kataku saat berdiri di antara mereka. Cepat mereka bergerak menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk latihan kali ini. Lalu menatanya di troli yang akan mereka gunakan nanti.

Jika di hotel, satu troli bisa memuat linen untuk sepuluh sampai lima belas kamar sekaligus. Isinya, beberapa jenis handuk di kamar mandi, seprai, sarung bantal, dan kimono. Juga keperluan kamar lainnya seperti air mineral, tisu, dan keperluan mandi. Ada juga alat pembersih seperti, mop, vacum, window wipper, toilet bowl brush, dll. Nggak cuma segitu barang-barangnya, masih banyak yang lain.

"Bu, udah."

Serempak mereka berkata, kecuali Rayendra. Remaja itu hanya menatap dengan bibir terkatup rapat. Lalu cepat dia membuka jaket dan menyangkutkannya ke salah satu kursi di sini.

"Saya mau semua masuk ke dalam dan making bed dulu. Kalau semua udah dapat giliran, baru kita make up room-istilah untuk membersihkan kamar hotel keseluruhan. Ingat bawa linen masing-masing."

Mereka mengangguk dan segera menuruti perintahku.

"Siapa mulai duluan, Bu?" Almeera bertanya. Siswi berambut panjang dan memakai celana training itu terlihat bersemangat. Kalau yang lain ekspresinya biasa saja, pasti malas mereka.

"Saat praktek kemarin, hasil making bed Rayendra bagus. Jadi biar dia dulu yang mulai."

"Cieeee, Bu Anty ...."

Kamvret! Kena lagi aku! Padahal kan nggak ada maksud apaan. Ya, emang benar kerjaan Rayendra bagus.

"Kenapa cie-cie? Ada yang salah? Kalian mau bilang apa lagi?" Tegas suaraku, membuat mereka bungkam. Aku menyipitkan mata, menatap tajam satu per satu siswa-siswi yang tampak menahan senyum. "Kenapa diam? Nggak mau ngelanjutin ngeledeknya?" Tanganku terlipat menyentuh dada.

"Maaf, Bu," ucap mereka, kecuali Almeera dan Rayendra.

"Setiap di kelas, ada saja cara kalian menghubungkan saya dan Rayendra. Ngajar di kelas satu, dua, tiga, sama saja semua. Tetap saya dan Rayendra dibawa-bawa. Saya diam dan harusnya kalian bisa memposisikan diri. Kita bukan sedang bercanda, cobalah untuk serius."

Tertunduk wajah mereka. Aku lalu duduk dan bersandar pada kursi. Napas terembus kasar, kesal. Apa aku sudah marah dengan keterlaluan hari ini? Entahlah. Sebenarnya ini sudah sering terjadi, tapi rasanya aku tak suka sekarang. Emosi tiba-tiba nggak terkendali gini.

"Biar saya yang duluan, Bu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Biar saya yang duluan, Bu." Rayendra berkata sambil menatapku, tanpa senyum. Kaki panjangnya segera menuju single bed yang tak jauh dariku. Dia meletakkan linen di tempat tidur satunya.

Terbiasa melihat keindahan di bibir remaja itu dan sekarang tidak, rasanya ada yang berbeda. Kemarin-kemarin sorot mata Rayendra berbinar dan sekarang tidak. Cahaya yang biasa dia hadirkan dari manik cokelatnya untukku, sudah hilang. Memang seharusnya begini.

Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang