“Rayendra, kenapa saya merasakan hampa saat kamu pergi? Saya merasa ada yang kurang tanpa pesanmu yang tak bermutu itu.”
Rayendra menatapku dalam, bahkan sangat. Binar matanya yang indah mengisyaratkan banyak maksud. Hanya saja aku terlalu bodoh hingga tak mengerti. Atau mungkin aku yang takut untuk menerka.
“Saya juga merasakan hampa, Bu. Di sini.” Dia memukul pelan dadanya dengan senyum tipis. “Karena beginilah takdir kita. Saya terlambat lahir, jadi nggak bisa miliki Ibu.”
“Ray, saya ....”
“Ibu suka saya?” Aku menunduk, tak berani menjawab. “Saya tahu tentang perasaan Ibu. Tapi saya juga tahu, kalau Ibu menjaga rumah tangga dengan Pak Dewa agar tetap utuh.”
Ada yang berdenyut di hatiku kini. “Ray, kamu mau ke mana?” Sadar ternyata sudah bangkit dari duduknya dan berjalan agak menjauhiku.
“Saya harus tetap pergi, Bu,” jawabnya tanpa menatapku.
“Lalu untuk apa kamu datang kemari tadi jika akhirnya pergi lagi?”
“Hanya agar Ibu tahu, bahwa sampai detik ini perasaan saya nggak hilang ke Ibu. Saya setia pada satu nama. Anty Wulandari.”
Rayendra lalu meneruskan langkah, meninggalkan aku yang kembali sendiri di taman ini. Malam bertabur bintang tak sedikit pun memberi cahaya untuk hatiku. Semua pekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomansCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...