Pikiran Buruk

6.4K 457 81
                                    

Pandangan mengabur, karena air mata sudah meluap. Menggunakan punggung tangan, kucoba melenyapkan basah di wajah.

Kembali aku memerhatikan foto itu. Meneliti dengan saksama laki-laki dengan pose diambil dari samping. Hanya setengah wajah saja yang tampak. Tunggu, aku merasa ada yang aneh. Kemeja itu ....

Oh, Rayendra! Awas kamu! Kamvrettt!

Tergesa-gesa aku mencari nomor Rayendra di list kontak. Ketemu! Segera aku melakukan panggilan dengannya.

"Hallo, Bu Anty? Ibu baik-baik aja? Saya ke sana, ya? Nyediain bahu buat Ibu nangis."

Baru saja telepon diangkat, dia langsung menyerang dengan banyak kalimat.

"Rayendraaaaaa!"

Aku berteriak sangat kencang. Perasaan begitu menggebu-gebu. Rasanya ingin memakan murid kurang kerjaan itu.

"Kenapa Ibu teriak?" Dia bertanya tanpa dosa. Dasar bocah!

"Itu siapa yang kamu foto?"

"Suami ibu. Tuh, udah ketahuan selingkuh, mending Ibu milih saya, deh," jawabnya penuh rasa percaya diri.

Ampun! Untung dia sedang jauh, kalau dekat barangkali sudah aku jambak.

"Itu bukan suami saya, Rayendraaaa!"

Sangat gemas aku dengan anak ini. Bayangkan saja, sudah menangis dan merasakan cenat-cenut karena foto itu. Faktanya, itu bukanlah Mas Dewa, hanya tampak mirip saja dari samping. Kemeja yang dipakainya pun berbeda.

"Ibu ini, suami selingkuh malah dibelain."

"Kamu salah orang, Rayendra! Itu bukan suami saya! Memang kamu pernah ketemu suami saya?"

"Pernah lihat dari samping waktu dia ngantar Ibu ke sekolah dan kaca mobilnya kebuka."

Astaga! Anak ini ternyata hanya melihat sekilas saja wajah Mas Dewa. Namun, bodohnya aku pun tadi keburu baper melihat foto itu.

Napasku terhela sangat sangat berat. Menyiapkan tenaga untuk kembali menjelaskan ke brondong ini.

"Rayendra, itu hanya mirip saja dengan suami saya. Coba kamu temui orang itu dan perhatikan dengan jelas, saya akan kirimkan foto suami saya."

"Tapi, Bu—"

Panggilan aku putus sepihak. Lalu cepat-cepat mencari foto Mas Dewa dan mengirimkan ke Rayendra.

Berjalan aku menuju dapur untuk mengambil air dari kulkas. Satu tangan masih setia memegang ponsel. Cairan dalam botol itu baru sedikit terteguk, tapi saat membaca balasan Rayendra, aku tersedak. Tak dapat tertahan tawa dan heran ini.

[Ibu jahat banget. Kenapa ngirimin foto kalian berdua? Saya jadi cemburu, Bu.] Pesannya berisi emoticon hati retak.

[Karena kami suami-istri dan seharusnya sekarang kamu makin sadar, Ray. Dan ingat, yang kamu foto tadi itu bukan suami saya.]

Rasa haus masih terasa, lagi aku meminum cairan dingin bening itu. Satu pesan datang, cepat aku menyelesaikan aktivitas tadi, takut tersedak membaca jawaban Rayendra.

Kaki kini menuju ke ruang tamu dengan sebuah apel di tangan. Aku menyandarkan tubuh, sedikit menggigit buah itu, lalu membuka pesan di ponsel.

[Terpotek-potek hati saya sekarang, Bu. Padahal udah senang tadi punya kesempatan besar, karena suami ibu selingkuh.]

Aku hanya tersenyum dan menggeleng membaca jawabannya. Murid ini sungguh-sungguh tak punya kerjaan merayu wanita bersuami.

Kalau seperti ini, siapa yang patut dipersalahkan? Orang tua dan lingkungan yang kurang memberi edukasi, atau memang dasar sifat Rayendra begitu? Membingungkan. Mungkin di sini peranku untuk menyadarkan murid itu masih kurang.

Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang