Cinta, satu kata yang mendadak tak kutahu apa artinya. Apakah dia keindahan? Rasanya bukan, karena atas nama cinta aku terikat pada seseorang. Namun, mengapa kini perih itu ada dan kian menyiksa?Orang bilang jodoh adalah cerminan diri. Jika iya, apakah karena aku sempat terbuai perhatian Rayendra, lalu Mas Dewa pun berselingkuh? Bagaimana bisa ketidakadilan itu terjadi? Karena aku tak pernah bermesraan dengan Rayendra. Tidak pernah berjalan-jalan berdua dan tertawa bersama.
"Bu ...."
Panggilannya menyadarkanku yang sempat tenggelam dalam lamunan. Pelan kuusap air mata dan kembali mengamati objek yang begitu menyakitkan itu.
"Banyak yang mau saya tanyakan sebenarnya sama kamu, Ray. Tapi ada urusan yang lebih penting. Kamu silakan pulang," ucapku sambil meraih barang dari tangan Rayendra. Ya, tas dan bukuku ada padanya, entah sejak kapan. Mungkin aku pun terlalu larut dalam kesedihan sampai tak tahu laki-laki itu memunguti benda yang jatuh di lantai.
"Ibu mau nyamperin mereka?"
"Ya."
"Bu ...." Matanya jelas memancarkan iba. Tentu saja, karena dia sedang melihat seorang istri menyaksikan perselingkuhan suaminya.
"Terima kasih, Ray. Saya bisa sendiri. Kamu tidak perlu khawatir."
Napas terembus berat, sementara hati dan jiwa sedang saling menguatkan untuk kejadian selanjutnya. Aku lalu melangkah, meninggalkan Rayendra yang masih lengkap dengan pakaian sekolahnya. Mungkin tatapan remaja itu kini sedang mengikutiku menuju dua manusia yang sedang bermesraan.
Bergetar kaki beserta semua anggota tubuh. Kedua tanganku memegang erat kantung plastik yang berisi buku. Air mata tak juga berhenti menetes. Beberapa orang menatapku heran. Diri ini sekarang memang terlihat kacau. Bagaimana tidak, karena keadaan hatiku sedang patah.
Terasa tidak ada udara di sini. Aku tercekik dalam kehampaan hati. Bayang-bayang masa depan indah bersama lelaki pujaan perlahan luntur. Ingatan akan senyum dan tawa yang pernah kami cipta bersama, kini mulai pudar. Tergantikan oleh pengkhianatan yang begitu nyata.
Semakin dekat, semakin pula ada guncangan dalam diri. Berkeping-keping sudah cinta ini ketika mata kembali melihat mereka. Seorang wanita yang asyik mencoba heels dan laki-laki di sebelahnya tersenyum lepas.
Senyuman itu harusnya hanya untukku, Mas.
Berdiri aku membelakangi mereka. Rasanya ingin luruh ke lantai. Kaki ini sudah ingin menyerah untuk menopang tubuhku.
"Mas ...."
Kedua orang itu menoleh ke belakang setelah mendengar panggilan penuh kesedihan dariku. Mereka seketika membelalak melihat siapa pemilik suara dengan nada menahan perih tadi. Dalam hitungan detik lelakiku bangkit dari duduknya.
"Sayang ...," panggilnya dengan wajah kebingungan.
"Sudah sejak kapan, Mas?"
Pelan aku bertanya sambil menahan sakit. Tubuh tegap itu mendekat, tangannya mencoba meraih jemariku. Namun, sengaja kutepis begitu saja.
"Jawab aku, Mas! Sejak kapan ini terjadi? Udah seberapa jauh?"
Sedikit tinggi nadaku hingga membuat beberapa orang memandang kami. Si wanita tadi tampak ketakutan. Dia meremas blouse dark purple-nya sendiri. Kaki yang sedang terbalut jeans putih itu pun terlihat bergetar. Sementara Mas Dewa masih bergeming. Kehilangan kata mungkin dia atau bingung harus berbicara mulai dari mana tentang kebohongannya.
"Sa-"
"Berhenti manggil aku, Mas! Kamu nggak punya jawaban atas pertanyaanku? Oke, aku sendiri yang ngasih kalau gitu. Kita pisah, Mas, pisah!" ucapku penuh penekanan. Air mata kini kian tertumpah dan banyak orang sedang memandangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...