Beberapa detik terlalui dengan kebisuan. Kami sama-sama diam, meski aku tahu pasti lidah ingin kembali berkata. Namun, sayangnya kini tertahan entah untuk alasan apa. Mungkin bimbang atau yang lain, karena pada kenyataannya, situasi ini cukup rumit.
"Bu, gimana?"
"Ray, kamu tahu ini salah, tapi kenapa masih mau dilanjutkan?"
"Kadang hati emang segila itu, Bu. Susah menghentikan kemauan, biarpun nggak sejalan sama logika," jawab Rayendra pelan. Tatapannya sekarang berubah sayu. "Ini salah, emang salah, tapi gimana kalau saya jodoh Ibu sebenarnya?"
"Kalau kamu yakin seperti itu, biarkan Tuhan dan waktu yang bekerja."
"Terus saya cuma diam? Ya, nggak bisa, Bu! Kalau mau dapatin sesuatu harus usaha."
"Tapi kamu mau merebut milik orang, Ray!"
"Tapi kalau orang itu nggak bisa jaga apa yang dia punya, gimana, Bu?"
Bagaimana jika kasusnya seperti itu? Tidak dipungkiri kalau sikap Mas Dewa membuatku terluka. Aku hanyalah seorang wanita yang ingin kasih sayang dari sang suami. Apakah ini terlihat manja? Namun, apa salahnya? Aku adalah istri laki-laki berhidung bangir itu, wajar saja jika hati ini ingin perhatiannya. Akan tetapi, tetap saja, yang salah tak bisa dibenarkan.
"Kalau dia nggak bisa jaga yang dimilikinya dengan baik, biarkan sesuatu itu pergi dengan sendiri. Kalau memang ditakdirkan untuk kamu, pasti akan kamu miliki."
Rayendra diam, lalu terdengar napasnya terhela berat. Wajah itu mendekat kemudian berbisik, "Saya terlalu lemah untuk melihatnya terluka, Bu. Saya pengen menyembuhkan dia, dengan cara saya."
"Siapa yang terluka?"
"Ibu. Saya mau jadi penyembuh luka untuk Ibu."
Berdesir hati kala mendengarnya. Semburat merah itu pun pasti kini hadir di wajahku. Rayendra menjauhkan wajah dan kami kembali bertatapan. Ada sesuatu di sepasang mata itu, tapi entah apa. Mungkinkah Rayendra mengetahui yang tak kutahu? Adakah alasan dia kembali ingin mendekatiku dan mengingkari ucapannya?
"Saya nggak nepati janji dan saya sadar, Bu. Maaf, karena udah nggak gentle. Di sekolah Ibu guru saya, saya akan bersikap normal. Kalau di luar, ya gitu, Bu. Saya tetap kejar Ibu."
Detak jantung kini bertalu-talu, menciptakan rasa tak nyaman dalam dada. Terlebih lagi ketika Rayendra mengerling manja. Sejenak membuat lupa kalau dia adalah muridku sendiri. Dasar brondong! Pesonanya ternyata kuat. Bikin mata hampir kalap.
"Saya hanya ingin kamu tahu, jangan lewati batasan!"
"Batasan ada untuk dilewati, agar tahu sejauh mana kemampuan diri." Lagi dia mengerling saat membalas peringatanku tadi. " Nanti saya akan WA ibu lagi," sambungnya.
"Dih, ngapain?"
"Buat godain Ibu, dong."
"Gelo!" Lalu aku berjalan, tapi Rayendra memanggil, kembali kami berhadapan. Dia tertawa kecil. "Ada apa? Saya mau cepat pulang, Ray. Perut saya kerasa nggak enak dari tadi."
"Jelas nggak enak, Bu. Tuh, celananya aja basah." Maksudnya? Buru-buru aku meriksa celana bagian depan juga belakang dan ternyata benar, basah. Lihat tangan yang merah, ini darah! Aku langsung nunduk, malu. "Nggak usah malu, Bu. Saya bahkan pernah lihat Ibu pakai gaun tipis kayak saringan itu."
Masih ingat dia rupanya. Malu kuadrat sekarang! Wajah kuangkat dan terlihat dia sedang tersenyum lebar. "Rayendraaa!"
🍃🍃🍃
Tubuh bersandar pada sofa, satu tangan menggenggam ponsel. Tangan lainnya mengelus perut yang masih mules. Kaki lurus sambil digoyang-goyangin. Kalau kayak gini, enaknya tidur. Apalagi barusan habis mandi, segar rasanya, badan juga kerasa lebih nyaman. Ternyata aku datang bulan, sempat mengira kalau hamil. Jadi, nafsu makan besar dan emosi tidak stabil itu karena ini? Ha ha ha!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...