Terusik

5.2K 554 170
                                    

Rayendra tampak mengiba. Kerjapan dan sorot matanya penuh harap. Dibalut sinar kekuningan, pesona wajah itu tertelan. Aku lalu pergi bersama nyeri yang kian terasa. Tangan memegangi dada yang terobrak-abrik. Terdengar dia menggumamkan nama 'Bu Anty' berkali-kali. Namun, sekali lagi terlambat. Luka sudah hati ini atas perlakuannya yang membuat aku seakan tak punya harga diri.

Sampai di ruang guru, aku duduk dengan kasar. Menenggelamkan wajah di antara tangan yang menyentuh meja. Ingin sekali rasanya menangis untuk meluapkan kekecewaan ini. Kecewa pada Rayendra, juga pada sikapku tadi. Aku bersalah sudah menamparnya dan itu jelas bukan tindakan yang baik. Entah, aku tak mengerti bagaimana bisa diri ini lepas kendali. Bukankah mendidik itu tak perlu menyakiti?

“Anty ....”

Pelan aku mengangkat wajah dan berdirilah seorang laki-laki dengan senyum manisnya. Dia menarik kursi dari meja lain, lalu kami duduk berhadapan. Aku merapikan anak-anak rambut, juga sesekali mengusap wajah yang pasti tampak kacau. Malu sekali dipandangi guru lain dalam kondisi begini.

“Iya, Kak. Aku keterlaluan tadi, ya?”

Kak Sukayasa masih tersenyum. Aku lalu mengedarkan pandangan, hanya ada kami berdua di sini. Kursi-kursi lain kosong, tampak beberapa tumpukan map dan kertas di meja-meja itu. Sepi, hanya terdengar detakan jarum jam.

“Nanti biar Kakak yang ngomong sama Rayendra. Kakak juga heran, anak itu kenapa ngotot sekali dekatin kamu.”

“Biarlah, Kak. Nanti orang tua Rayendra datang ke sini. Semoga setelah itu aksi nekatnya berhenti. Pusing aku sama tingkah anak itu. Jadi ngerasa bersalah juga karena udah nampar dia tadi.”

Napasku terhela berat. Pikiran melayang ke detik-detik tubuhku dan Rayendra berdekatan, tepatnya berpelukan. Setelah itu sapaan kasar mendarat di wajah remaja itu. Argh! Siapa suruh mancing-mancing emosiku? Kan jadi kena deh dia. Untung saja aku tak ada jam pertama, sehingga mood mengajar dalam kelas tak perlu hancur.

“Kakak siap-siap ngajar dulu. Kamu jaga emosi nanti kalau di depan orang tua Rayendra. Dan jangan gengsi untuk minta maaf ... kalau merasa bersalah.”

Dia bangkit dari duduknya, lalu mengembalikan kursi itu ke tempat semula. Tangannya meraih tas dan buku dari meja. Sebelum melangkah pergi dari ruangan ini, pelan Kak Sukayasa berkata, “Satu lagi, jangan malu untuk mengakui kesalahan.” Berkedip penuh arti laki-laki yang sedang memakai kemeja biru dongker itu. Kaki panjangnya mengarah ke pintu dan mulai menghilang dari pandangan.

Sejenak aku terdiam dan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Lalu akhirnya memutuskan untuk melihat sosok itu masih ada atau tidak. Dia berteduh di bawah pohon, tepat berseberangan denganku yang berada di ambang pintu. Tangan kirinya menutup sebagian wajah dan bertumpu pada paha. Sementara tangan lainnya memegangi ponsel. Dia ... tampak kacau.

Tubuhku bersandar pada pintu, tangan terlipat di dada, dan kaki kanan menyilang ke depan. Mata fokus pada remaja yang kini sedang memukul-mukul kepalanya sendiri. Dodol apa gimana, sih, dia? Atau merasa frustrasi karena orang tuanya akan berhadapan denganku?

Hendak berbalik, karena jam pergantian pelajaran sudah berbunyi. Namun, tertahan saat muncul sosok wanita berhijab menghampiri Rayendra. Mereka berbincang beberapa saat, lalu tatapannya mengarah padaku. Ketahuan, kan, aku lagi merhatiin Rayendra. Ckckck!

Aku membenarkan posisi berdiri. Menunggu mereka yang kini berjalan mendekat. Sudah pasti wanita itu ibu Rayendra. Dari segi wajah, memang mirip. Diperkirakan dari umur pun, sepertinya cocok. Aih, Anty, kenapa beralih profesi jadi cenayang gini?

“Ibu Anty?” tanyanya sambil tersenyum. Dia sedikit menundukkan kepala setelah memberi ucapan selamat pagi. “Saya bundanya Rayendra, Rika.”

Benar tebakanku. “Iya, saya Anty, Bu. Mari masuk. Ada yang harus saya jelaskan.”

Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang