Selingkuh

7.9K 496 51
                                    

Selingkuh, tak perlu ditandai dengan kontak fisik, merindukan seseorang pun sudah tergolong seperti itu. Ternyata juga tak perlu menciptakan keringat dengan lawan jenis di ranjang untuk menyatakan diri sedang berkhianat. Memikirkan wajah lelaki lain pun termasuk sedang menduakan hati.

Tiada henti aku mengucap istighfar, mengingat apa yang baru saja hati rasakan. Bagaimana bisa aku mengakui sesuatu yang pasti akan menyakiti Mas Dewa? Ah, Anty ....

Cincin beserta kotaknya kembali ke tumpukan baju. Tak ingin lagi berlama-lama menggenggamnya, karena itu hanya akan membuat Rayendra kian kuat di ingatan. Aku lalu bersandar di pintu lemari. Memegangi dada yang masih saja berdetak tak menentu.

Kucari ponsel di ranjang yang tadi terlempar begitu saja saat memasuki kamar. Duduk bersandar pada bahu ranjang, lalu mulai menarikan jemari di benda pipih itu. Sengaja kubuka galeri, memandangi foto Mas Dewa. Wajah itu mendamaikan, lalu bagaimana bisa aku menyisipkan senyum laki-laki lain dalam penglihatan ini?

"Mas, maafin aku ...."

Waktu menunjukkan pukul 23.15, tapi yang ditunggu tak juga datang. Oke, Anty, kamu mesti tetap berpikir positif. Mungkin hotel emang lagi ramai, jadi harus lembur lagi.

Jika aku datangi Mas Dewa, gimana, ya? Hemm ....

Cepat aku bangkit dari ranjang dan mengganti baju. Kali ini mini dress putih dan blazer-entah warna apa namanya, karena abu bukan hijau pun bukan- menjadi pilihan untuk menemui sang pujaan hati. Rambut pun tak lupa digulung-style favoritku.

Setelah memastikan semua oke, aku memesan taksi on-line sambil mengunci pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memastikan semua oke, aku memesan taksi on-line sambil mengunci pintu. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang merebut benda pipih itu.

Makjleb rasanya saat tahu siapa yang sedang berdiri di sebelahku kini. Argh! Melihat wajah itu, hidung, bibir, bahkan senyumannya membuat ada yang luruh di dalam dada ini.

"Ibu mau ke mana malam-malam gini?"

Oh, ya, ampun Rayendra! Kamu menghancurkan usahaku untuk tak merindukanmu. Kehadiranmu malah semakin membuat hatiku berdenyut sakit. Tersadar karena tak sepantasnya rasa aneh itu ada.

"Saya mau nyari suami. Kamu sendiri ngapain di sini?"

Oh, demi chemical yang banyak macamnya, aku gugup! Ngomong pun tadi nggak berani lihat mata Rayendra.

"Biar saya yang antar, Bu. Pesanan taksi juga udah saya batalkan."

Dia lalu menyerahkan benda pipih itu, pasti Rayendra sudah tahu ke mana aku hendak pergi. Ah, senyumnya kenapa kayak isi gula, sih? Manis beud.

"Nggak perlu, Ray. Saya bisa sendiri."

"Bu, sekali ini aja. Emang Ibu nggak kangen sama saya?" tanyanya dengan tatapan yang tak kumengerti.

Jika boleh jujur, tentu saja aku akan mengatakan 'kangen' padanya. Namun, sekali lagi status hubunganku menjadi benteng menjulang tinggi di antara kami. Terlepas dari diri ini yang sesungguhnya merindu, ada hati lain yang tetap harus kujaga.

Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang