Lama aku merenung sendiri di sofa. Sesekali mengusap lengan dan melihat ke arah kamar. Lelakiku sedang terbaring dengan pedih, itu pasti. Entah mengapa bisa aku sebodoh ini. Saat bersama Mas Dewa, malah Rayendra yang terpikirkan. Memangnya siapa remaja bermotor besar itu, hingga pantas dibayangkan? Ini sungguh gila!Susah payah aku mengumpulkan keberanian untuk melepas kangen dengan suami. Namun, hancur begitu saja saat wajah lain datang kala mata ini terpejam. Sakit, aku tahu Mas Dewa merasakan itu. Ketika kami hampir merajut malam indah, tapi malah jarum kekecewaan yang aku tusukkan di dadanya.
Bego! Tolol! Nggak tahu diri! Ya, itulah aku. Argh!
Mas Dewa selama ini jarang memberikan perhatian lebih. Lalu datang Rayendra yang sering mengirimi WhatsApp. Walaupun hanya sekadar gombal tak bermutu. Namun, nyatanya perlakuan itu menimbulkan rasa nyaman tanpa kusadari. Salah, ini salah besar! Apa bedanya aku dengan Mas Dewa yang sudah berselingkuh jika begini jalannya? Tidak! Ini semua harus dihentikan!
Aku bangkit dan berjalan menuju kamar. Terlihat Mas Dewa meletakkan tangan kanannya di belakang kepala. Pelan aku naik ke ranjang dan bersandar di dada bidangnya. Mata terpejam sambil melingkarkan tangan di pinggang laki-laki ini.
"Sayang?"
Panggilan Mas Dewa terdengar bersamaan dengan tangannya yang membelai wajah ini. Aku memiringkan badan, agar kami bisa saling bertatapan. Mata cokelat sedikit sipit itu menyorotkan banyak hal yang tak kupahami. Bisa jadi pertanyaan salah satu di antaranya.
"Maaf," ucapku lirih. Tangan kini beralih menyentuh dada Mas Dewa dan dia meremas jemariku. Lalu menciumnya perlahan.
Dia begitu lembut, meski memang pernah melukai hati ini. Namun, kami terikat pernikahan. Sudah sepantasnya melupakan kesalahan yang pernah terjadi. Semestinya aku pun menjaga hati agar tak pernah mengkhianati Mas Dewa. Karena tak ada pembenaran, sakit hati dibalas sakit hati.
Benar aku pernah kecewa saat tahu dia berselingkuh. Akan tetapi, harusnya aku tak terbawa perasaan pada Rayendra. Karena jika Mas Dewa tahu, dia pun akan merasakan sakit. Bukankah begitu seharusnya cinta? Saling menjaga agar tak melukai.
"Nggak apa-apa. Aku ngerti."
Sekarang dia memiringkan tubuh dan melingkarkan tangan di pinggangku. Dua pasang mata yang sama-sama memendam rasa, kini bertatapan. Mas Dewa dengan kekecewaan sekaligus pengertiannya. Sementara aku dengan rasa bersalah dan tak akan membiarkan dosa ini jadi bertambah.
Wajahku semakin mendekat, lalu menebarkan kehangatan di bibirnya. Awalnya dia pasrah, tapi lama-lama ikut membalas.
"Maaf buat yang tadi, Mas. Bisa kita pergi ke bulan sekarang?" tanyaku dengan kedipan manja.
"Bisa banget, Sayang."
Bibir Mas Dewa kemudian melengkung indah dan itu akan selalu kuingat. Supaya tak ada senyum orang lain yang mengisi benak. Termasuk Rayendra.
Bulan, aku datang. Jangan ada yang ngintip, ya!
🍃🍃🍃
Berdiri di depan cermin sambil menyentuh perut, aku merasa semakin gemuk. Aih, pipi juga makin tembem. Sedikit manyun bibirku kini. Barangkali ini efek dari nafsu makan yang tak terkendali beberapa hari terakhir.
Kulihat Mas Dewa berjalan mendekat, lalu memeluk dari belakang. Dagunya berpangku pada pundakku. Aroma parfum ini selalu menjadi pembangkit hasrat saat berdekatan dengannya.
"Kenapa cemberut gitu?" Dia bertanya sambil mengecup tengkukku.
"Aku makin gendut kayaknya, Mas. Kamu, sih, ngasih aku makanan terus. Semalam juga beliin pizza paket lengkap gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...