Dada terasa sangat sesak mendengar pernyataan Rayendra barusan. Apa yang dipikirkan anak ini? Untuk apa pula menungguku di depan rumah. Pantas saja semalam dia menanyakan Mas Dewa sudah pulang atau belum.Reflek aku turun dari motor. Menatap laki-laki itu dalam. Memerhatikan bagaimana dia tak punya rasa takut padaku.
"Kamu berani sekali, Ray! Saya ini gurumu, harusnya kamut takut sama saya!" ucapku menggebu disertai dua tangan mengepal.
Jika bisa, ingin sekali aku memukul Rayendra. Namun sayangnya, ada hal-hal yang harus tetap dijaga meski logika memberontak.
Kembali dia tersenyum tipis, kepala menggeleng, lalu turun dari motor. Dia mendekat, hingga tubuh kami hanya berjarak beberapa meter. Tingginya yang sekitar seratus tujuh puluh tiga senti, membuatku sedikit mendongak demi melihat wajahnya.
"Saya nggak takut sama Ibu. Karena udah sepantasnya Ibu dihormati, bukan ditakuti. Apa tindakan saya selama ini ada yang kurang ajar sama Ibu? Apa saya pernah bertindak keterlaluan? Saya masih berada di jalur aman, Bu. Saya bahkan nggak mengganggu Ibu yang lagi ngabisin waktu sama suami.
Ibu udah bikin saya jadi nggak karuan. Pengennya ketemu dan dekat terus sama Ibu, tapi saya masih sadar posisi saya sekarang."
Rayendra berbicara panjang lebar, penuh keseriusan. Namun, aku tak bisa menjawab. Melihat matanya saja kini aku seakan tak mampu. Sorot dua manik cokelat itu mengundang banyak tanya di benak. Salah satunya adalah, apa dia memang serius untuk mendekatiku?
Angin berembus kencang. Memeluk dua insan yang tengah diliputi kesunyian. Suara kendaraan yang berlalu-lalang bahkan memudar dari telingaku kini.
Tatapan dan raut wajah itu seperti hendak memakan jantungku. Lalu mengunyah dan menelan, sampai ada di dalam tubuh Rayendra. Mata Rayendra sedikit menyipit, menatapku sangat tajam. Tak terlihat dia sedang bercanda.
"Saya akui udah salah suka sama Ibu, ta-"
"Kalau sudah tahu salah, hentikan ini, Ray!" Aku memotong ucapannya.
"Tapi untuk membohongi hati itu susah, Bu. Mana tahu kita berjodoh lima tahun lagi. Saya akan tetap nungguin Ibu," jawabnya lalu kembali menaiki motor.
"Kamu doain saya sama suami pisah?"
Mataku melebar sempurna, kemudian menggeleng. Seserius inikah perasaan laki-laki itu atau baginya hanya lelucon saja. Ya, bisa jadi, mengingat usia kami yang tak terpaut jauh.
"Nggak, Bu. Saya cuma berdoa biar Ibu jadi jodoh saya. Aamiin." Tercipta dari apa anak ini? Pandai sekali dia membalas omongan. "Bu, nanti telat," lanjutnya.
Ah, iya! Aku bahkan sampai lupa harus ke sekolah. Sebenarnya gengsi untuk kembali duduk di motor Rayendra, tapi mau bagaimana lagi. Aku harus melupakan sejenak tentang harga diri.
Anty, ini harus jadi yang terakhir kamu naik motornya. Semangat!
Setelah memberi motivasi pada diri sendiri, aku naik ke kendaraan murid tengil bin nggak tahu malu. Motor lalu melaju dengan kecepatan sedang.
Sepanjang jalan aku terus memikirkan cara agar anak ini bisa sadar sepenuhnya. Tak ada pembenaran untuk jatuh hati pada pasangan orang lain. Ya, memang rasa itu tertuju untuk siapa tidak bisa ditentukan. Namun, jika tetap mempertahankannya, sama saja menceburkan diri ke kobaran api. Terbakar akibat perbuatan sendiri.
Demi majas yang banyak jenisnya, ini sungguh ngeri!
Tak terbayangkan jika Mas Dewa mengetahui hal ini. Ah, memangnya dia akan cemburu? Entahlah.
"Bu, kok, diam aja?"
"Pusing saya," jawabku asal. Lalu mengalihkan pandangan ke punggung remaja itu.
"Ibu merhatiin saya, ya,?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomansaCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...