Pamit

5.6K 447 119
                                    

Wanita itu terus terisak di tempatnya. Tak berani mungkin menghampiriku yang sedang berjongkok dan memegang batu. Aku lalu bangkit sambil tersenyum dan melangkah menuju si pemilik iPhone layar hancur ini. Kutatap Mas Dewa yang masih memijat kepala, satu tangannya memegang kacamata. Pening mungkin dia melihat tingkahku. Ha ha ha!

"Kamu yang beliin iPhone ini, Mas?" Lembut suaraku bertanya sambil tersenyum kepada laki-laki itu.

"Bukan," jawabnya cepat.

"Demi apa?"

"Demi Allah, Anty. Bukan aku yang beliin."

Oke, sudah cukup jika dia membawa nama Allah. Ya, aku percaya. Kalaupun Mas Dewa berbohong, biarlah itu menjadi urusannya sendiri. Apa aku lemah? Bukan! Ini karena aku yakin kebaikan akan mengalahkan seberapa pun banyaknya keburukan. Kebohongan yang disimpan sangat rapi, cepat atau lebih cepat pasti akan terbongkar.

Hendak melanjutkan kata, seseorang datang membawa dua porsi pancake. Lalu dia meletakkannya di meja dan berkata, "Ada yang bisa saya bantu, Bu? Saya manager di sini."

Oh, pantas saja dia mengenakan kemeja dan celana yang berbeda dari lainnya. "Tidak, Pak. Tenang saja, saya tidak akan lepas kendali. Ya, anggap saja tadi hiburan gratis untuk pengunjung di sini."

Laki-laki berambut tipis dengan dasi hitam di lehernya tersenyum, kemudian pamit. Pandanganku kembali fokus pada gadis muda berpakaian seksi ini.

"Kalau orang tua kamu tanya kenapa HP-mu hancur, bilang aja saya yang ngancurin. Kalau orang tuamu minta ganti rugi, saya akan belikan yang baru. Tapi jika orang tuamu bertanya alasan mengapa saya melakukan ini, saya akan ceritakan perbuatanmu. Bagaimana?"

Aku lalu menyerahkan benda pipih itu dan semakin pecah tangisnya. Terisak-isak dia memandangku.

"Jadi, kamu akan jujur atau tidak pada orang tuamu? Atau perlu saya yang datang menemui mereka dan menceritakannya?"

"Ja-jangan, Kak. Hiks hik hiks ...," jawabnya lirih.

"Kamu pernah dikasih uang sama suami saya?"

Setelah bertanya, aku menatap Mas Dewa yang sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Pernah, Kak."

"Mas!"

Tanganku melambai pada pelayan yang tengah membersihkan meja agak jauh dari posisiku kini. Cepat laki-laki berbaju merah berlogo nama kafe ini menghampiri.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Dia bertanya sangat ramah.

"Bungkus makanan di meja saya dan bawakan bill-nya. Nanti wanita ini yang akan membayar."

"Kakak ...." Lirih dia bersuara masih dalam keadaan menangis.

"Baik, Bu," jawab si pelayan kemudian melangkah pergi. Tak lupa dia pun membawa kembali piring berisi pancake.

Mas Dewa hanya diam. Sesekali kudengar napasnya terhela berat.

"Suami saya pernah kasih kamu uang, jadi nggak ada masalah kalau kamu bayarkan makanan saya hari ini. Oh, ya, saya harap kamu jera. Bisa aja saya jambak rambut kamu kemarin, tapi sayangnya cara saya nggak semurahan kamu," kataku kemudian kembali duduk. Memasukkan benda-benda yang masih berada di meja.

Tangisnya tak juga mereda, sementara banyak pasang mata terus memandangi kami. Sungguh aku tak merasa malu. Lagipula ini adalah cara elegan membasmi bibit pelakor. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga, wanita itu pun menangis karena sakit hati. Good job, Anty!

Masih tiada henti aku berpikir, apa alasan gadis semuda dia mau memacari pria beristri. Apa memang hal begitu tidak lagi tabu baginya? Atau sudah kebiasaan? Ah, entahlah.

Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang