Sejenak aku terdiam dengan pandangan mengarah pada Mas Dewa. Tangan tanpa sadar terkepal. Sungguh, rasanya ingin menghancurkan semua barang yang ada di ruangan ini. Namun, kesadaran diri masih ada. Lalu kuputuskan untuk duduk di kursi dekat jendela. Sambil mengusap air mata yang membasahi wajah, pandangan menatap ke luar. Memerhatikan beberapa motor yang lalu-lalang di perumahan ini. Para pengendaranya memakai mantel, karena hujan masih juga tak berhenti.
Keadaan di luar sana basah, tapi tidak dengan hati ini. Daging dalam dada terasa begitu kering, ingin dia yang tercinta menyirami dengan kasih. Aku ... hampa. Ada sesak yang kian tak tertahan, membayangkan kebenaran tentang Mas Dewa. Apa yang terjadi padanya tadi? Atau ... mungkinkah dia sudah tahu Rayendra mendekatiku? Bisa jadi itu alasannya. Argh!
Hawa dingin dari AC menyusup hingga ke tulang. Kedua tanganku mendekap tubuh sendiri, sementara pikiran tetap berkelana. Kebimbangan melanda. Haruskah menunggu dia mengatakan yang sejujurnya, atau aku saja yang memulai? Ah, tidak! Mengapa aku jadi resah begini?
Sesuatu yang dimulai dengan ketidakbenaran memang akan menciptakan rasa gelisah di kemudian hari. Rayendra bukan orang penting dalam hidupku, hubungan kami pun hanya sebatas guru dan siswa. Namun, caranya mendekatiku sebagai wanita bersuami kini memunculkan kekhawatiran. Tak terbayang jika benar kemarahan Mas Dewa sebab dia tahu tentang istrinya yang dikejar seorang brondong.
Kugigit bibir bawah, kuat. Mata terpejam hingga derit dari ranjang terdengar. Aku bangkit dan berdiri menghadap arah suara tadi. Lelakiku dengan wajah pucatnya berjalan mendekati. Sekarang, kami saling pandang. Tersisa beberapa centimeter antara kami. Dia memijat kepalanya, hendak kubantu, tapi tangan ini ditepis seketika.
"Maaf." Lirih suara Mas Dewa.
Wajah yang ketampanannya selalu kukagumi itu kini tertunduk. Mata Mas Dewa menatap lantai atau mungkin sepatu yang masih dia kenakan. Sekarang ... ada nyeri yang kian terasa. Maaf untuk apa?
"Ada apa?" Pelan aku bertanya, tapi hingga beberapa detik, jawaban tak kunjung kudapat. "Ada masalah apa?" Lagi, aku bertanya.
Berharap kali ini kebenaran akan terungkap. Jika memang tentang Rayendra, baiklah, hati ini sudah siap untuk menerima kemarahannya. Bersedia mendengar apa pun yang akan Mas Dewa katakan. Namun, jika tentang hatinya yang kembali mendua ... mungkin aku akan menjadi serpihan. Lalu benar-benar hancur, karena dia tak juga belajar dari kesalahan sebelumnya.
Kami masih diam diiringi deras hujan yang terdengar. Waktu seolah berhenti karena kebekuan yang kini tercipta. Tak ada pergerakan di sini, Mas Dewa masih setia tertunduk tanpa kata. Pandanganku lalu mengedar ke seluruh sudut ruang. Kebersamaan yang pernah terjadi di sini, kembali terbayang. Harusnya saat ini kami meringkuk berdua di bawah selimut. Saling berbisik manja mengucap cinta. Lalu bibir dan anggota tubuh lainnya ikut bercengkerama mesra. Namun, sayangnya keadaan yang tengah kami hadapi sekarang membuatku tak mengerti.
Rasa dalam dada kian tak menentu. Berbagai pikiran tentang kemungkinan sikap Mas Dewa berkecamuk. Entah apa jawabannya, tapi ini mungkin terlalu sulit hingga dia tak mampu berkata. Aku ... penasaran sekaligus cemas!
"Mas, katakan!"
Habis sudah sabar menunggu jawaban dari laki-laki ini. Sedikit kuatur napas akibat menahan gejolak sedari tadi. Lalu pelan wajah di depanku terangkat. Hilang entah ke mana binar mata yang biasa dia hadirkan kala kami bertatapan. Hanya ada kekosongan di sana. Redup sorot manik cokelat itu menggambarkan, betapa Mas Dewa tengah dilanda kegundahan.
"Anty," panggilnya pelan. Kedua tangan itu meraih jemariku lalu mencium lembut. "Aku ... aku ... aku ...." Argh! Bikin makin penasaran kalau dia menjawab terputus-putus begitu.
"Katakan, Mas!"
Tanganku yang dia genggam, kini menyentuh dada bidangnya. Degup jantung yang tak beraturan itu dapat kurasa. Bicaralah, bicaralah! Bungkammu itu menyiksa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...