Apa yang lebih menyakitkan dari terluka untuk alasan sama hingga dua kali? Ya, setidaknya begitu pikiranku saat melihat Mas Dewa merengkuh seorang wanita dalam foto. Satu tangan laki-laki itu menyentuh gagang pintu mobil, hendak membantu seseorang yang sedang dia pegangi sepertinya. Namun, kenapa mereka berdua di parkiran hotel? Benarkah Mas Dewa mendua lagi? Tidak, pasti bukan itu alasannya.
Perasaan dan pikiran-pikiran aneh terus berdatangan. Penasaran pun menghantui, tentang siapa pengirim foto ini dan alasan Mas Dewa mengajak seseorang di mobilnya. Aku terduduk di tepi ranjang, masih menatap layar benda persegi. Sekarang jam tujuh lewat sedikit, entah harus pergi menyambangi dua orang itu atau tidak.
Detak jantung semakin tak beraturan, padahal sudah kucoba untuk mengendalikan diri. Berharap semua ini hanya salah paham saja. Akan tetapi, sesak kian menikam dada, hingga harus kutekan pelan untuk mengurangi sakitnya. Air mata masih tertahan, tak ada niat untuk meluruhkannya. Karena aku ... tak pantas untuk menangis, meskipun hati meringis.
Beberapa menit aku terdiam, lalu memutuskan mengetik sesuatu di layar.
[Kamu siapa? Dan suami saya masih di sana atau tidak?]
Berdebar aku menanti jawaban. Kuputar-putar ponsel, sesekali mengetukkannya ke dahi. Layar terkunci otomatis, lagi kubuka, siapa tahu ada balasan, tapi ternyata nihil. Sungguh lama rasanya menunggu.
Resah kini semakin menguasai diri. Pada akhirnya aku memilih mengempaskan tubuh begitu saja, sambil mengigit bibir bawah. Mata terpejam dengan benda pipih dalam dekapan. Slide demi slide gambar lalu Mas Dewa dan tadi itu pun terputar. Argh! Sulit sekali ternyata menyingkirkan pikiran buruk.
Kesunyian kian terasa saat derai hujan tak terdengar sekeras tadi. Detak jarum jam kini menjadi melodi kamar ini. Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi. Meloncat aku dari ranjang dan menuju lemari. Mengambil tunik dongker yang panjangnya di bawah lutut, dengan hiasan pita pink di kiri-kanan pergelangan tangan. Cepat aku bersiap dan memasan taksi on-line.
Berjalan tergesa-gesa, lalu mengunci pintu dengan tatapan masih ke layar ponsel. Berharap orang itu mengabari sesuatu tentang Mas Dewa. Namun, hingga terdengar klakson taksi, tetap tak ada balasan. Ini orang cuma ngerjain atau gimana, sih?
Si sopir taksi turun dan tersenyum kepadaku yang tengah membuka gerbang. “Malam, Mbak. Benar Mbak Anty?”
“Benar, Pak.”
Setelah aku menjawab, dia lalu membukakan pintu untukku. Tak lama kemudian, mobil pun melaju. Aku bersandar, kemudian membuang pandangan ke luar kaca. Di temaramnya cahaya lampu jalan, terlihat rintik hujan masih setia membasahi bumi. Kendaraan silih berganti lewat di depan mataku. Merasa kedinginan, kupeluk diri sendiri dengan mata terpejam. Membayangkan ke mana Mas Dewa pergi dan apa yang tengah dia lakukan. Di suasana begini, jelas menghabiskan waktu dalam hangatnya selimut adalah pilihan terbaik. Tidak, hentikan pikiran jahatmu itu, Anty!
Mataku kini mengarah ke depan, kami sedang berada di perempatan jalan. Mobil berhenti karena menunggu giliran untuk lewat. Di sini memang tak ada lampu merah. Satu pesan WhatsApp lalu masuk di ponsel. Cepat aku membukanya dan ... perih!
“Pak, belok kiri. Nggak jadi lurus. Nanti saya bayar lebih,” kataku, lalu memberitahu ke mana arah selanjutnya. Tanpa bantahan, si sopir menurut.
Jangan tanya seperti apa perasaanku sekarang. Remuk dan hancur, entah bagaimana menjelaskan. Hawa dingin dari AC dan rintik hujan, tak berpengaruh lagi untukku. Wajah dan hati ini memanas, seperti ada nyala api yang siap untuk membakar dan melenyapkanku.
Masih dalam posisi menyandar, aku kembali memejamkan mata. Satu tangan menempel di dahi. Berniat untuk meredakan gejolak yang kian terasa, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dada ini seakan penuh oleh kebohongan orang tercinta. Sesak, seperti tiada lagi ruang untuk oksigen. Sekuat tenaga aku menahan agar air mata ini tak tumpah. Bukan karena gengsi, tapi menangis pun percuma. Tentu juga tidak akan bisa memutar waktu agar Mas Dewa tak pergi ke rumah seseorang bersama wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Berondong[Sudah Terbit ]
RomanceCERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK CETAK DAN E-BOOK. [Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.] [Bu ....] [Kok, jahat, sih, Ibu?] Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu...