•Prolog•

66 9 4
                                    

"Hidup gue hancur. Semua harapan gue udah meletus bersamaan dengan isi gunung berapi. Gue udah ga punya semangat hidup lagi. Gue udah ga sanggup menjalani hidup yang terasa seperti mati begini. Cukup. Satu harapan gue dihancurin begitu saja, gue bakalan bunuh diri." Areta tak bisa menahan tangisnya kali ini bahkan kakaknya sendiri yang biasa ada di sisinya juga tak bisa menenangkan gadis itu.

"Gue tau gimana rasanya semua mimpi dihancurin begitu aja, Ret. Gue pernah ngerasain apa yang lo rasain sekarang. Mimpi gue dihancurin? Itu udah jadi asupan gue tiap hari, Ret. Gue pengen lo berjuang. Raih semua harapan itu lagi. Gue dukung semua harapan lo." teriak Arel dari luar kamar Areta.

"Gue benci sama yang namanya orang tua. Gue benci." kalimat itu berulang ulang terucap oleh bibir manis Areta.

"Gue ga mau lo putus harapan. Gue bakal jadi tangga yang akan lo naikin supaya lo bisa raih semua impian lo itu." Arel mengatakan kalimat itu dengan sendu.

Areta juga sadar, ia tak boleh terus menangis seperti ini. Ia harus bangkit. Lagipula masih ada yang ingin membantunya.

Kakaknya itu orang pertama dan terakhir yang ingin melihat Areta tersenyum bebas dengan harapan yang sudah digenggam ditangannya.

"Gue pengen lo masuk ke dalem kamar gue dan peluk gue sekarang juga." suara Areta sudah sampai di telinga Arel, cowok tinggi berhidung mancung dan bermata tidak terlalu besar. Arel segera masuk ke kamar Areta lalu memeluk adik kesayangannya itu.

"Terimakasih, Rel." gunamnya. Areta dan Arel hanya berbeda 2 tahun saja. Oleh sebab itu, Areta malas untuk memakai embel embel kakak. Lagipula kakaknya juga tak masalah.

Areta, gadis dengan rambut sebahu bergelombang dan juga berponi itu menghapus air mata di pipinya.

***

Hai, baru prolog nih

Maaf ya kalau kependekan. Namanya juga prolog.

Bagian selanjutnya kalian akan bersuka cita menghadapi Areta kok

Thank you for reading
Jangan lupa vote ya

By: Nadya Ashfa

WISH (Harapan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang