Hari ini adalah hari terakhir ujian bagi SMA Bima Persada. Ada murid yang santai santai saja tidak belajar. Ada juga yang sangat serius karena ini adalah hari terakhir.
Di hari yang terakhir ini, mata pelajaran yang di ujiankan adalah fisika.
Sekarang sudah ada beberapa lembar soal di meja masing masing. Begitu pun dengan Areta. Ia hanya bisa menatap soal itu dengan perasaan heran.
"Kenapa ya, soal ujian bisa berubah? Dari latihan, pe-er, sampe ulangan? Gue aja nggak bisa berubah drastis kayak gini. Heran." gumamnya.
Areta melihat sekeliling. Ada sebuah catatan di balik papan ujian Jean.
"Sstt…" Areta berharap Jean yang menengok tetapi malah satu kelas yang menatap padanya. Apa suara Areta terlalu keras ya?
Menyontek gagal. Ralat, bertanya gagal.
Areta mencari cara lain. Ia melihat ada sebuah buku terbuka yang tergeletak di lantai antara Roy dan Harry. Hebatnya, guru tidak melihat mereka menyontek.
"Barengan kek! Buku gue juga!" ucap Harry.
"Iya bentar. Gue lagi nyari rumus buat nomor 23."
"Gece!"
"Hey, ngapain ngeliat ke bawah terus! Kertas ulangan kalian kan di atas meja!" omel guru pengawas saat melihat tingkah Harry dan Roy.
"Eum… saya… saya lagi nyari pulpen, bu! Tadi kayaknya jatuh di deket Roy. Roy! Bantu gue napa!" Harry berpura pura mencari pulpennya yang hilang. Padahal ada di atas meja.
"Lo kalo bohong, jangan nyimpen bukti! Tuh simpen dulu pulpen lo yang ada di atas meja!" bisik Roy.
"Terus, itu pulpen yang di meja kamu punya siapa?" nah, kan. Ketahuan.
Areta malah tertawa keras sekali karena ia tidak bisa menahan tawanya lagi melihat tongkah lucu Harry.
"Wuahahahah…" setelah sadar, ia menutup mulutnya lagi.
"Itu yang dibelakang! Kenapa ketawa? Ada yang lucu?" Areta mendapat tatapan tajam gratis dari sang pengawas.
"Eh… eng… enggak bu."
Kelas mendadak jadi hening.
Tiba tiba ada gumpalan kertas yang mengenai dahi Areta. Refleks, ia mengaduh. Areta melihat sekitar dan tatapannya terhenti oleh Jean yang sedang menggerakkan jarinya di depan mulut seolah berkata 'sstt… diem'
Areta membuka gumpalan kertas tersebut dan ternyata isinya adalah rumus. Waw, terima kasih, Jean! Tau saja kalau Areta sedang membutuhkan itu.
Areta segera mengerjakan soal soal itu.
Braak!
Kalkulator Harry jatuh. Oh ya ampun! Sampai kapan anak ini waras?
"Kamu lagi! Apa yang jatuh tadi?"
"Jam tangan saya kesenggol sama Roy, bu!" bohong Harry.
"Udah gue bilang, kalo mau bohong itu jangan nyimpen bukti, dodol!" bisik Roy.
Sudahlah ini mah bakalan ketahuan.
"Terus di tangan kamu apaan?" tuh kan ketahuan lagi! Dasar Harry bodoh!
Di saat begini si Harry malah menyengir tidak jelas. Sungguh, otaknya terbuat dari tanah liat atau apa?
"Itu yang tengak tengok, mau ngapain? Mau nyebrang?" pengawas menatap Jean.
"Nggak, bu. Saya mau ngumpulin lembar jawaban."
Semua murid kelas X IPA 1 menatap Jean seolah mengatakan 'gila cepet banget ngerjainnya'.
"Ya sudah, sini kumpulkan! Yang lain juga! Masa ngerjain soal segitu gampangnya lama banget."
What? Gampang? Gampang nyerah sih iya.
"Jean, lo jangan gitu dong! Jahat lo!" teriak Roy.
"Sudah sudah. Ibu tarik satu per satu aja!"
Apa yang di katakan sang pengawas, itulah yang terjadi. Semua murid menyalahkan Jean dan memberikan tatapan 'awas lo ya!'
Untung Areta sudah mengerjakannya berkat gumpalan kertas yang Jean kirimkan.
***
Jangan niru sikapnya Harry ya?
Readers : "katanya Harry pinter Fisika. Kok nyontek?"
Harry : "wajar lah. Emang gue sehebat ilmuan?"
Vote pliss
Thank you for reading and vote
By : Nadya Ashfa
Ig : @nadya_ashfa
KAMU SEDANG MEMBACA
WISH (Harapan)
Teen FictionSemua harapan Areta dikekang. Hanya ada satu yang tersisa. Ia tidak mau sisa harapan itu dihancurkan. Namun, takdir berkata lain. Harapan Areta hanyalah khayalan semata. Semua harapannya hancur berkeping berkeping keping dan tak ada yang utuh sediki...