"Try it while you can.
Hold it while you can.
Until you feel everything really has to be blown out right away"
-Author-🌻🌻🌻
Hari ini mungkin lebih menyebalkan dari hari-hari lainnya. Karena hari ini, ada satu mata pelajaran yang paling tidak disukai Amanda, yaitu pelajaran olahraga.
Mungkin Amanda pintar dalam berbagai mata pelajaran di sekolahnya. Tapi tidak dengan olahraga. Bahkan, dia membenci mata pelajaran ini.
Dulu bundanya pernah berkata, itu tidak apa-apa, asalkan dia tetap bisa menguasai pelajaran lain.
Amanda jadi tidak terlalu memusingkan hal itu lagi. Tapi tetap saja, hal itu membuat peluang yang besar bagi teman-temannya untuk terus menghinanya.
Amanda pergi ke ruang ganti untuk mengganti bajunya. Dia melihat tampilannya saat memakai baju olahraga di depan cermin.
"Lihat aja. Bahkan, baju olahraga gak cocok buat gue," batinnya.
Baju olahraga itu terlihat ketat di badan Amanda. Padahal, itu adalah baju dengan ukuran terbesar yang dia beli. Justru, celananya yang terlalu besar untuk kakinya.
Ini semakin membuat Amanda tidak percaya diri.
Dia segera pergi menuju lapangan sebelum dimarahi oleh gurunya. Saat dia sampai, semua tatapan mata langsung tertuju padanya. Ada yang melihat lalu berbisik-bisik pada temannya, ada juga yang terang-terangan menghinanya.
"Buset! Kayaknya ada yang ukuran baju sama celananya terbalik nih," sindir Michael.
Amanda menatap jengkel Michael. Menurutnya sekarang, mengabaikan itu jauh lebih baik daripada memedulikan semua kata-kata mereka yang menurut Amanda lebih pantas disebut sampah.
"Kayaknya mulai hari ini, gue bakal panggil lo sumo aja deh. Lebih pantas." Belva datang dari sela-sela kerumunan siswa.
Amanda benci hal ini, dimana dia dihina oleh Belva dan teman-temannya sendiri. Sebenarnya tidak semua temannya, tapi hanya sebagian saja. Sebagian lainnya hanya acuh tak acuh, tapi terkadang mereka juga ikut tertawa saat melihat Amanda dihina.
Dan ... sama sekali tidak ada yang peduli.
"Pantas aja badan lo gendut terus. Lagi olahraga aja, kerjaan lo cuman mengeluh," sindir Adrina, si ketua tim basket.
Rasanya sekarang Amanda sudah berada diambang batas kesabarannya.
"Jangan-jangan Bundanya juga gendut kayak dia! Ups ... gue keceplosan," Karin tertawa terbahak-bahak.
Ini benar-benr sudah keterlaluan. Amanda tidak bisa tinggal diam saja.
"Terus kenapa?! Gue yang gendut, kenapa lo semua yang pada rusuh?!"
Hening. Semuanya terdiam.
"Oh ... gitu. Lo bilang kita semua rusuh? Justru lo yang gak tahu diri!" ucap Belva.
"Dasar babi! Gue sumpahin lo bakal gendut selamanya!" umpat Genta.
"Kita semua gak rusuh. Lo nya aja yang terlalu santai," ucap Karin.
Semuanya pergi meninggalkan Amanda yang terdiam. Mungkin sampai kapan pun dia tidak akan dihargai sama sekali.
Amanda benci mereka semua, karena telah menghina bundanya. Tidak masalah bila mereka hanya menghinanya, tapi jangan pernah membawa nama bundanya.
Amanda juga benci hidupnya.
Semakin lama semuanya makin menjadi-jadi. Rasanya, semua tidak bisa lagi ditahan oleh Amanda sendirian.
Semua beban yang awalnya Amanda kira bisa ia tahan dan tanggung sendiri, sekarang terasa sangat berat.
Otaknya selalu mengatakan untuk menyerah. Tapi hatinya selalu berkata yang sebaliknya.
"Amanda, kamu sudah beritahu kedua orangtuamu?" Tiba-tiba saja Bu Ratna datang dan membuyarkan lamunannya.
"E-eh ... sudah Bu. Tapi, orang tua saya sekarang sedang sibuk," bohong Amanda.
"Lho, memangnya Bunda kamu kemana? Bukannya dia tidak bekerja?" heran Bu Ratna.
Amanda berkeringat dingin. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Oh ... itu Bu. Bunda saya juga kebetulan sedang pergi. Jadi, sekarang sedang tidak ada di rumah." Amanda menghela napas lega. Untung saja, alasan itu melintas di pikirannya.
"Oke, tapi Ibu akan tetap tunggu kedatangan orang tuamu. Jangan lupa beritahu mereka, ya!" Bu Ratna melangkah pergi meninggalkan Amanda.
"Gue gak bisa terus berbohong sama orang-orang. Gue takut ... suatu hari mereka gak akan percaya lagi sama gue," batinnya
🌻🌻🌻
Amanda duduk di pinggir lapangan. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Bagaimana dia bisa belajar olahraga, bila teman-temannya saja tidak ada yang mau mengajaknya?
"Gue pengin banget belajar basket. Tapi ... kalau gue ikutan, pasti pada gak mau," ucap Amanda.
Guru olahraga Amanda akhirnya datang. Dia langsung membagi semua siswa menjadi beberapa kelompok yang masing-masing berisi tiga orang.
Hari ini mereka akan belajar lari estafet dengan jalur mengelilingi sekolah. Itu menjadi kabar buruk bagi Amanda, karena dia harus sekelompok dengan Belva dan Genta.
Dan itu sangat menyebalkan.
Dia jengkel ketika melihat Belva yang memohon-mohon agar tidak usah sekelompok dengannya. Sedangkan Genta, hanya acuh tak acuh. Dia seperti tidak menganggap Amanda itu sekelompok dengannya.
"Huh, sial banget gue harus sekelompok sama babi gembrot kayak lo!" cerca Belva.
"Yaudah sih. Gue juga gak memohon-mohon sama Tuhan biar sekelompok sama lo!" batinnya.
Belva masih mengerucutkan bibirnya. Genta malah melayangkan tatapan risih pada Amanda.
Sedangkan Amanda hanya terdiam. Malas untuk mendebatkan suatu hal kecil dengan Belva.
"Huft ...." Belva mengembuskan napas kasar.
"Pokoknya lo lari di urutan kedua! Paham, kan?!" lanjutnya.
Amanda mengangguk tanda mengiyakan.
🌻🌻🌻
Beberapa menit kemudian, akhirnya sekarang adalah giliran kelompok Amanda. Semuanya sudah siap di posisinya masing-masing. Genta di titik pertama, Amanda di titik kedua, dan Belva di titik terakhir.
Genta mulai berlari setelah peluit dibunyikan. Dia berlari cepat dan akhirnya sampai di titik Amanda.
"Pokoknya, lo harus lari cepat. Jangan sampai lo lari kayak siput! Lamban!" Itu kata-kata yang diucapkan Genta saat memberikan sebuah kayu kecil dalam lari estafet.
Amanda berlari secepat yang dia bisa. Meskipun rasanya, dia sudah mulai kelelahan dan kehabisan napas.
"Gue gak boleh berhenti! Gue pasti bisa," ucapnya.
Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanta✔
Teen Fiction❝Not perfect, but special❞ Memang tak ada yang sempurna. Tapi kamu bisa membuat dirimu menjadi sesuatu yang istimewa. Just love yourself. © Purple Eunoia, 2019