[12] - Suara Dari Dalam

91 14 2
                                    

Lei tidak pernah ditempatkan dalam posisi sesulit ini sebelumnya.

Bisa dibilang, dia adalah orang yang selalu menghindari masalah. Lei tidak seperti Dall—sahabatnya—yang bisa dengan terang-terangan menantang orang lain.

Mungkin sedikit banyak sifat Lei itu dipengaruhi oleh Ayah dan Ibu. Mereka selalu menuntut Lei menjadi anak teladan yang baik, sehingga Lei berusaha keras untuk tidak mengecewakan mereka. Setiap kali ada yang mencari masalah dengannya, Lei hanya diam membiarkan waktu mengurusnya, berharap si pengganggu akan bosan dengannya lalu pergi. Atau yang paling sering terjadi, Dall yang akan turun tangan dan membela Lei.

Dia sudah terbiasa mengunci semua kata yang hendak terucap, setiap tindakan yang hendak dilakukan, segenap keberanian yang harus diwujudkan. Lama kelamaan, semua masalah itu akan hilang. Lei selalu percaya akan hal tersebut.

Tapi sekarang berbeda.

Masalah ini tidak bisa hilang dengan Lei yang hanya duduk diam. Disini juga tidak ada Dall yang akan membelanya habis-habisan dan menyelesaikan semua masalahnya.

Disini, Lei sendiri. Dia harus menghadapi semuanya sendiri, dengan kekuatannya.

Lei menghela nafas panjang. Denyutan di dadanya terasa kian nyeri memikirkan orang-orang dari masa lalu, terutama ketika dia sedang sendiri seperti saat ini.

Dalam mimpinya pun, Lei tidak pernah mengira bahwa dia akan ditampar sedemikan keras oleh fakta bahwa kota kelahirannya sudah raib ditelan bencana. Lei tidak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi ketika dia tertidur selama ini.

Bencana itu begitu kejam, merenggut segalanya tanpa pandang bulu. Kehadirannya tidak diundang, dan mungkin itulah kenapa ia suka memberi kejutan kepada manusia. Kejutan yang mengerikan.

Dall, Ayah, Ibu...apakah mereka menderita saat itu?

Nafas Lei tersekat. Memikirkan tentang detik-detik terakhir orang-orang yang berharga untuknya terlalu berat rasanya, menghimpit dadanya begitu kuat hingga ia harus menengadah untuk menarik oksigen sebanyak-banyaknya.

Tapi rasanya semakin sakit.

Lei mencengkram ujung pakaiannya kuat-kuat sembari berusaha menetralkan emosinya. Dia tidak boleh begini, Lei tidak boleh lemah, dia tidak boleh membiarkan ada hal lain yang membuatnya terluka lagi. Lei harus mengunci semua emosinya dan menyingkirkannya di ujung benak, hanya dengan begitulah, dia bisa hidup.

Karena ditinggalkan sendiri itu begitu menyesakkan.

"Lei?"

Lamunan Lei tersedot kala suara itu menyapanya. Sebentuk suara familiar yang sudah sangat dikenalinya. Suara Seth.

Lei tidak bergerak, membiarkan Seth mendekatinya perlahan dengan langkah ragu. Raut heran dan khawatir tergambar jelas di wajahnya. "Aku mencarimu dari tadi, ternyata kamu ada disini."

Dia masih menengadah dengan tatapan kosong.

"Kamu baik-baik saja? Tenanglah, keamanan Kapital sudah jauh berkembang dari zaman dulu, kami memiliki pertahanan terkuat disini. Jangan khawatir, tidak ada yang bisa menjangkaumu, bahkan Erebus sekalipun." Ujarnya.

Lei tidak khawatir sama sekali tentang hal itu. Tidak sedikitpun. Bahkan jika Erebus datang kesini pun, Lei rasa dia tidak akan peduli. Pikirannya sudah terlalu bercokol pada masa lalu. Lei ingin kembali, dia ingin kembali ke masa sebelum dia terbangun disini, tapi itu hal yang mustahil.

Ketidakberdayaan itu membuatnya merasa semakin buruk.

Seth menghela nafas kala mendapati Lei yang sama sekali tidak bereaksi. Perempuan itu kembali menjelma menjadi patung hidup yang dingin. Matanya menerawang jauh, membuat Seth merasa dia tidak akan bisa menjangkau Lei sejauh apapun tangannya terulur.

Rêveuse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang