[20] - Energi Seth

105 10 0
                                        

Hutan itu begitu gelap, lembab dan dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hutan itu begitu gelap, lembab dan dingin. Padahal matahari sudah bangkit dari peraduannya, padahal burung-burung sudah berkicau dengan riangnya, padahal pohon-pohon sudah menyebarkan hawanya yang kaya oksigen. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku di hutan tersebut.

Pohon-pohonnya begitu lebat hingga menutupi akses cahaya matahari. Tapi bukan hanya itu saja yang membuat hutan itu begitu gelap, melainkan langit di atas sana yang juga begitu kelam serupa malam.

Seolah-olah bahkan matahari pun tidak sudi untuk membagi-bagi cahayanya disana.

Tidak ada seekor pun burung, tupai atau kelinci yang berkeliaran disana. Bahkan ulat saja tidak terlihat rupanya. Hutan itu benar-benar mati.

Sangkarra menghempaskan tubuhnya di atas sebuah gondongan kayu berukuran raksasa. Separuh badannya hancur, hanya menyisakan organ-organ vital yang masih menyambung nafasnya, tapi siapapun yang melihat lelaki itu pasti yakin bahwa dia sudah sekarat.

Ia membatukkan lebih banyak darah lagi, mewarnai kayu disekelilingnya menjadi merah. Wajahnya sepucat pualam, dan dahinya mengerang menahan rasa sakit.

Sebuah tangan putih terjulur menyingkirkan anak rambut Sangkarra dengan lembut, diikuti sebuah suara feminim yang sangat tidak cocok untuk tempat segelap itu. "Bertahanlah, Sangkarra..." ucap suara itu dengan sendu.

Sosok itu menarik nafas lalu mengarahkan energi yang keluar dari kedua tangannya ke arah Sangkarra, membagi kekuatannya dengan lelaki sekarat itu. Perlahan namun pasti, tubuh Sangkarra kembali tumbuh, otot-ototnya terbentuk kembali, tulang-tulang kembali merekat membentuk tubuh yang sebagaimana semestinya.

Namun seberapa kuat pun kekuatannya, dia tidak mampu mengembalikan tubuh Sangkarra yang memang sudah hancur akibat terlalu lama berada di relung samudera. Luka-luka itu tetap ada, hanya diganti dengan sulur-sulur kayu.

Ditariknya kedua tangan kembali ketika nafas lelaki itu sudah kembali normal. Ia mengusap dahinya yang berkeringat. Meski dirinya juga seorang dewi—yang berarti dia sanggup menarik energi tak terbatas dari alam—namun menyembuhkan luka-luka parah seorang dewa lain ternyata sangat melelahkan.

Tapi dia harus melakukannya. Dia tidak bisa hanya diam saja melihat lelaki itu menemui Sang Pencipta begitu saja.

Dia tahu jika seorang dewa terluka sedemikian parah seperti luka Sangkarra saat ini, maka otomatis dewa itu kehilangan kemampuannya untuk menarik energi dari alam. Mereka juga tentu bisa mati seperti manusia, mereka tidak kekal, hanya saja mereka memiliki kekuatan untuk menyembuhkan diri sendiri.

Matanya menelusuri wajah Sangkarra yang damai, menghela nafas lega. Untung saja dia bertindak tepat waktu, kalau dia terlambat sedetik saja, mungkin Sangkarra sudah tidak ada lagi di semesta ini.

Sangkarra mengerang pelan. Ia menghambur ke sisi lelaki itu. "Sangkarra!" serunya riang. "Bagaimana perasaanmu? Kamu baik-baik saja?"

Mata lelaki itu mengerjap pelan, lalu perlahan matanya menemukan mata sang dewi. "Kamu..."

Rêveuse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang