[13] - Awal Perjalanan

85 16 0
                                    

Lei kembali bermimpi.

Kali ini ia sadar. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Lei berdiri mengamati. Ia berada di sebuah kota kecil dengan peradaban yang terlihat sangat kuno, tidak ada bangunan dari semen atau keramik, hanya bata dan kayu. Tidak ada jalanan aspal, hanya jalan setapak yang terbuat dari bebatuan.

Kota ini seperti tidak tersentuh oleh teknologi sama sekali.

Orang-orang terlihat bekerja di sawah, mencangkul dan menanam sayur, buah-buahan dan entah tanaman apa lagi yang tidak pernah dilihat Lei.

Bahkan kota Sanchu-nya yang berada di daerah terpencil pun terlihat sangat maju jika dibandingkan dengan tempat ini.

Dia seperti terlempar ke masa lalu.

"Adara!"

Lei tersekat. Nama itu seakan memunculkan sesuatu yang asing dalam dirinya. Sesuatu yang hangat namun menyakitkan. Sesuatu yang membuatnya merasakan emosi yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya.

Buru-buru ia menoleh ke arah suara. Seorang laki-laki yang pernah muncul dalam mimpinya berdiri di sana. Mengayunkan tangan dengan senyum yang begitu lebar.

Dan seketika itu, Lei merasa hatinya diremas, ulu hatinya terasa nyeri hingga ia ingin menangis.

"Arkara!" balas seorang perempuan dengan riang.

Adara. Arkara.

Lei mengingat mereka berdua. Di mimpi sebelumnya, dia berada di tubuh Adara, terkunci tanpa bisa bergerak dan hanya melihat semuanya dari mata Adara.

Namun sekarang Lei bisa melihat mereka berdua dengan sangat jelas. Dia bisa melihat betapa jelitanya Adara, seorang dara dengan rambut legam panjang dan wajah oval yang manis. Pipinya bersemu kemerahan tatkala mendengar suara kekasihnya. Arkara mempercepat langkahnya dan meraup Adara ke sebuah pelukan erat.

Adara memekik pelan, memukul pundak Arkara sebelum balas memeluknya. "Arkara! Kau mengagetkanku!" serunya sembari tertawa pelan.

Arkara tertawa lantas menanamkan sebuah kecupan di puncak kepala Adara sebelum mengurai pelukannya. "Adara, sayangku." Ucapnya dengan penuh cinta. "Bagaimana kabarmu hari ini? Beberapa hari tanpa melihatmu terasa seperti neraka tak berujung."

"Hentikan gombalan basimu!" Adara berceletuk sebal, namun tak urung pipinya kian merona. "Cuma tiga hari dan kamu sudah seperti ini. Bagaimana kalau nanti kamu harus ke kota seberang selama sebulan?"

"Kalau begitu, lebih baik aku mati saja daripada berpisah denganmu begitu lama."

"Arkara!"

Tawa Arkara pecah. Ia menyisir helaian ikalnya yang berantakan ke belakang. Kilauan jingga matahari sore menimpa siluetnya dan membuatnya terlihat begitu memesona di mata Adara hingga ia tak bisa berhenti menatap kekasihnya itu dengan pandangan memukau.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kau ikut denganku?"

Mata Adara membulat kaget. "Apa? Tidak mungkin, Ayah dan Ibu pasti tidak akan—"

"Mereka akan memberi izin, setidaknya pada calon menantu mereka."

"....apa?"

Arkara tersenyum lembut sebelum meraih tangan Adara dan meremasnya. "Adara, aku sudah mencintaimu sejak kita berumur tujuh tahun. Dan cintaku semakin kuat tiap detiknya kala kau memutuskan untuk membalas perasaanku dua tahun lalu." Lelaki itu tertawa kikuk, warna semu merah mewarnai pipinya. "Aku merasa ini saat yang tepat. Adara, bersediakah kau menggenggam tanganku seperti ini hingga akhir hidup kita?"

Rêveuse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang