[14] - Khaiva

99 12 0
                                    

Lei berjalan melewati hiruk pikuk keramaian kota seraya mengetatkan tudung yang menutupi kepalanya, membuatnya tampak seperti penjelajah lain yang kerap datang ke ibu kota, entah untuk berbisnis, mencari pekerjaan, atau juga hanya untuk sekedar hiburan semata.

Sudah dua kali Lei ke pasar, namun dia tetap tidak bisa melepaskan rasa kagum tatkala melihat betapa ramainya orang yang berlalu lalang, penjual-penjual yang berlomba meneriakkan promosi dagangan mereka dan canda tawa disekitarnya.

Dulu, Lei tidak pernah punya kesempatan untuk bisa pergi ke pasar. Ibu terlalu khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk kepada Lei, sehingga seluruh barang yang Lei mau pasti dibelikan Ibu. Lei tidak perlu repot-repot pergi ke pasar dan berdesak-desakkan dengan banyak orang di hari yang terik. Lei tidak perlu capek, Lei tidak perlu berkeringat. Dia hanya perlu duduk diam di rumah dan menanti.

Semua yang Lei mau pasti akan dibelikan Ibu.

Meski dalam hati, Lei begitu iri. Melihat teman-teman sekelasnya yang mengobrol seru tentang acara jalan-jalan mereka mencoba restoran-restoran yang baru dibuka, mendengar canda tawa dan percakapan seru mereka tentang keindahan pasar kala festival. Lei begitu iri, dia ingin bisa seperti mereka.

Dia ingin bisa bebas pergi kemanapun yang dia mau, tanpa larangan dan tanpa perintah. Tanpa kekangan, tanpa kurungan, tanpa batasan.

Dan Lei tidak pernah menyangka bahwa keinginannya akan terkabul dalam cara seperti ini. Sekarang Lei bebas, sekarang Lei bisa pergi kemanapun yang dia mau tanpa dilarang, tanpa dimarahi, tanpa dikekang.

Memang benar ada sedikit rasa takut bagi Lei untuk berkelana sendiri, karena ini adalah pertama kalinya dia harus melakukan semuanya sendiri. Dia harus mencari makan sendiri, dia harus berbicara sendiri, dia harus melakukan semuanya sendiri. Tidak ada Ibu, tidak ada Ayah, tidak ada Dall.

Tapi di atas semua perasaan itu, Lei merasa dirinya membumbung tinggi.

Bagai burung yang bebas mengepakkan sayapnya, kebebasan ini membuat Lei begitu bahagia. Sebuah perasaan asing yang terselip namun efeknya begitu dahsyat, membuat Lei terkadang lupa semua hal yang seharusnya kini membebani pundaknya, sebuah kewajiban akan keselamatan alam semesta yang berada di tangannya.

Sebelum pergi, Lei memutuskan untuk mampir terakhir kalinya di kios pangsit yang dulunya pernah ia kunjungi bersama Seth.

Seperti biasa, kios itu begitu sepi akan pengunjung, sehingga ketika Lei menginjakkan kaki ke dalam, Bibi Secav langsung bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sangat antusias.

"Selamat datang!" sapanya dengan senyum lebar, lalu senyumannya berubah menjadi kaget. "Lho, Anda—nona yang waktu itu kan?"

Lei mengangguk sopan. "Selamat pagi."

"Ayo masuk, masuk!" Bibi Secav menghela Lei untuk duduk di sebuah meja kosong lalu menempatkan dirinya sendiri tepat di hadapan Lei. "Anda mau pesan apa? Anda sendiri? Dimana Tuan yang waktu itu datang bersama Anda?" tanyanya bertubi-tubi.

Lei terdiam, jelas tertegun disuguhkan pertanyaan demi pertanyaan.

"Ah, maafkan saya membuat Anda kaget." Beliau meringis, sedikit bersalah.

Lei menggeleng. Lalu ia menunjuk salah satu makanan yang ada di dalam menu. Setelah Bibi Secav meneriakkan pesanannya kepada pekerja di balik dapur, ia kembali menghadap Lei. Matanya lantas tertuju kepada tas yang ada di sebelah perempuan itu.

"Anda akan pergi?" tanyanya kemudian.

Lei mengikuti arah pandang Bibi Secav, lantas mengangguk.

"Sendirian? Tuan yang waktu itu tidak ikut bersama Anda?"

Lei menggeleng pelan.

Bibi Secav menghela nafas dramatis. "Kenapa tidak? Bukankah kalian ini pasangan? Kalian sedang bertengkar? Tenanglah, dia sangat menghargai Anda, saya melihat dengan jelas bagaimana Tuan itu memandang Anda, Nona." Raut wajahnya berubah kaget. "Jangan-jangan selama ini Anda tidak pernah sadar?!" pekiknya.

Rêveuse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang