[Completed]
\Rêveuse\
Dreamer.
Hanya karena satu doa pada Dewi Zephyra, Lei terbangun 398 tahun kemudian di Kapital, jantung negara yang Lei kira tidak akan bisa ia datangi sampai kapanpun.
Di sampingnya, berdiri Seth, pemilik mata coklat paling mem...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hei, kamu...Zephyra, Sang Dewi Perang bukan? Eh—kenapa kamu menangis?"
Zephyra tersentak, lalu buru-buru ia mengusap air mata yang mengaliri pipinya dan memasang wajah dinginnya seperti biasa. Ketika itu mereka masih muda, masih dewa kecil berusia sekitar seribu tahun, jika di dunia manusia mungkin mereka hanya anak kecil berusia sembilan atau sepuluh tahun.
"Aku tidak menangis," kilahnya.
Anak lelaki yang tidak dikenal Zephyra itu seenaknya saja duduk di sampingnya dan melihat lamat-lamat padanya. "Jangan bohong. Matamu jelas-jelas sembab dan merah." Lalu ia tersenyum, sebuah senyum terlembut yang pernah Zephyra lihat dari siapapun. "Mau bercerita padaku? Mungkin itu bisa meringankan bebanmu."
Zephyra—yang memang memiliki gengsi setinggi langit—bersidekap dengan gaya pongah. "Tidak ada yang harus kuceritakan padamu." Lantas rasa penasaran merayapinya. "Kamu siapa? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya." Tanyanya dengan tatapan mata penuh selidik.
Anak lelaki itu mengulurkan tangannya. "Namaku Sangkarra, Sang Dewa Kehidupan."
Itulah kali pertama Zephyra mengenal Sangkarra yang berusia lebih tua dua ribu tahun darinya. Sekaligus, laki-laki paling baik yang pernah dikenalnya. Sangkarra memiliki senyum yang membuat siapapun berpikir dia tidak akan tega membunuh semut sekalipun, dan itu memang benar.
Menjadi seorang Dewa Kehidupan membuat Sangkarra tidak boleh membunuh makhluk hidup dalam bentuk apapun, sekecil dan setidak-berharga apapun, dan ia menyayangi setiap makhluk hidup sama rata besarnya.
Tapi bagi Zephyra, Sangkarra lebih cocok dikatakan idiot dibandingkan baik. Bayangkan saja, jika kita memiliki kasih yang sama kepada makhluk hidup manapun, bukankah hal itu malah bersifat destruktif? Hal-hal yang buruk tetap saja harus disingkirkan agar keseimbangan alam semesta tetap terjaga, begitulah pemikiran Sang Dewi Perang yang telah terbiasa memegang senjata di tangannya.
Mungkin dewa-dewi lain akan aneh melihat mereka berdua—seorang dewa yang tidak sanggup membunuh apapun dan sang dewi yang dingin dan tidak segan membunuh siapapun yang tidak pantas di matanya—dekat.
Tapi memang begitulah kenyataannya.
Saat itu adalah pertama kalinya Sangkarra mengunjungi langit karena harus menghadap Dewa Langit, Ayah Zephyra, untuk melaporkan tugas-tugasnya, padahal lelaki itu memang memiliki kediaman tersendiri di bumi.
Sangkarra berkuasa atas segala yang ada di bumi. Ia bekerja untuk membuat ikan-ikan di laut beraneka ragam jenisnya, padi-padi yang ditanam petani tumbuh subur, anak-anak kecil tumbuh dewasa dengan sehat, dan bertanggung jawab untuk mengawasi agar bumi berjalan sebagaimana mestinya.
Maka dari itulah, Zephyra hanya bertemu dengan Sangkarra satu kali saat itu. Di belakang kediamannya yang terpencil, memergokinya sedang menangis karena telah gagal menjalankan tugas yang diberikan oleh Sang Ayah padanya.