[15] - Sangkarra

104 14 0
                                    

"Selamat pagi, Kakek. Hari ini Kapital aman seperti biasa, tidak ada kekacauan apa-apa yang diperbuat Erebus." Sapa Seth seraya membungkuk sopan.

"Terimakasih atas kerja kerasmu, Seth." Pratyaksa tersenyum. Mereka kini sedang berada di dalam ruang kontrol Garyakta. Semenjak kepergian Lei menuju Kota Kacwasdu lima hari yang lalu, memang kekacauan yang biasanya kerap ditimbulkan oleh pengaruh Erebus kian menipis, bahkan berkurang drastis dan hampir menghilang.

Keadaan kembali damai seperti biasanya.

Kecuali keadaan Seth.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Baik."

"Baik? Dengan kantung mata setebal itu? Kau pikir sedang membohongi anak lima tahun?"

Seth terdiam, lalu menghela nafas panjang. "Aku hanya tidak bisa tidur belakangan ini, Kek." Akunya.

"Kenapa—" Sebelum pertanyaan Pratyaksa selesai, sebuah seringaian sudah muncul di wajahnya. "Oh, aku tahu. Merindukan Tuan Putri-mu, hmm?" godanya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Kepala Seth semakin dibuat sakit oleh pria didepannya itu. Lantas ia berjalan keluar dari ruang kontrol menuju sebuah lorong sepi tanpa orang. Pratyaksa mengikuti di belakangnya. "Kakek ingat kejadian delapan belas tahun yang lalu, ketika aku menghilang selama dua hari?"

Pratyaksa mengangguk. "Tentu, saat itu kau masih berumur sembilan tahun dan semua orang panik sekali mencarimu, bahkan Ayahmu mengira kau sudah diculik oleh Erebus." Ada tawa dalam suaranya kala berbicara. "Namun siapa sangka kau hanya terkunci di gudang penyimpanan pakan sapi selama dua hari itu?"

"Memang benar aku terbangun di gedung pakan sapi yang jarang dimasuki orang..."

Pratyaksa memotong. Dia mulai dapat menangkap sesuatu yang ganjil dari cara Seth berbicara. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang aneh?"

Seth menggeleng, terlihat sangat lelah dan frustrasi. "Entahlah Kek, itu sudah delapan belas tahun berlalu dan ingatanku sudah samar-samar. Satu-satunya hal yang kuingat dengan jelas hanyalah ada seseorang disana, tepat sebelum aku menghilang."

"Seseorang?"

"Iya, seorang pria. Tinggi, berambut hitam kelam, dan senyumannya..." Pandangan Seth menerawang, berusaha menggali ingatannya yang terdalam. "Aku ingat saat itu, dia tersenyum dan memanggil namaku, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya. Lalu ingatanku berakhir disana, dan aku terbangun di gedung pakan sapi."

Pratyaksa mengerutkan kening. Ini seperti teka-teki, dan ada kepingan yang hilang dari cerita Seth, membuatnya tidak bisa menarik kesimpulan. "Jadi, seseorang itu—yang terakhir kali kau lihat—ada hubungannya dengan menghilangnya kau selama dua hari?"

Seth mengangguk. Otaknya kembali berputar keras, berusaha mengaitkan semua fakta yang sudah dia dapatkan.

"Itu sudah delapan belas tahun berlalu, Seth. Kenapa kamu membahas hal itu sekarang?"

"Karena dia muncul kembali." Gumamnya.

Pratyaksa mengangkat alis. "Apa?"

Seth mendongak, balas menatap sorot bingung Pratyaksa dengan irisnya yang menyorot tajam. "Sosok yang kulihat, pria itu, dia terus menerus muncul di mimpiku. Itulah yang membuatku tidak bisa tidur akhir-akhir ini."

Dahi pria tua itu kembali mengernyit. "Mimpimu?"

Seth mengangguk. "Awalnya sosoknya muncul samar-samar, lalu belakangan ini wajahnya semakin jelas, dan semalam, aku melihatnya dengan sangat jelas seperti aku melihatmu sekarang, Kek. Tidak salah lagi, dialah orang dari delapan belas tahun yang lalu. Dan di mimpiku ini, lagi-lagi, dia memanggil namaku. Berulang kali, seperti berusaha untuk memanggilku atau...memberitahu sesuatu padaku?"

Rêveuse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang