[15] terciduq

13 6 3
                                    

"Jam pelajaran ke 3, kelasnya Wira olahraga. Kalo gak ketemu, parah banget sih ini."

Sudah layaknya seperti orang gila, aku berbicara dengan diri sendiri saat berjalan menuju ke kelas. Sekolah masih sangat sepi. Jam dinding besar sekolahku baru menunjukkan pukul 05.50

Ayah masih di Padang. Tadi aku diantar oleh tetangga yang kebetulan ingin ke pasar yang letakknya tidak jauh dari sekolahku.

Beberapa lampu kelas sudah ada yang menyala. Menandakan sudah ada yang datang. Pak Rahmat pun masih asyik menyapu lapangan, dengan ditemani musik dangdut yang begitu menggelegar.

Saat aku ingin menaiki tangga untuk ke lantai dua, aku merasa seperti ada yang membisikkan sesuatu ke telingaku. Suasana tangga yang masih gelap, mendukung sebuah perasaan takut untuk datang.

Dengan cepat aku langsung lari dengan  kencang tanpa melihat kebelakang dulu. Ketika sudah sampai di depan kelas, barulah aku berhenti berlari.

Dengan nafas yang masih terengah-rengah aku memberanikan diri melihat kebelakang.

"BAAA!"

Dan setelah itu aku mendengar tawa yang begitu menggema di lorong kelas yang masih sepi.

Lantas tanpa menuggu tawa itu terhenti, aku langsung menghadiahinya dengan jitakkan di kepalanya.

"Sakit Shil," ucapnya sambil mengusap-ngusap kepalanya dengan sisa tawa yang masih ada.

"Ohh jadi tadi yang bisik-bisik di telinga gue, lo Zan?"

"Iya, hahahah." Dan dia tertawa lagi yang membuat aku semakin kesal.

Aku lalu langsung masuk ke kelas dan ternyata baru ada Vanes yang datang.

"Kenapa Shil?" Tanya Vanes penasaran, karena aku masuk dengan muka kesal dan Auzan yang masih tak henti-henti tertawa.

"Ashilla gue panggil tadi di tangga,  malah kabur."

"Lo bukan manggil, tapi bisik-bisik namanya." Potongku dengan cepat. "Gue tadi hampir jatoh tau, gara-gara tali sepatu yang tiba-tiba copot."

"Ya maaf. Lagian lo juga, kenapa malah lari?"

"Pikir aja sendiri." Aku lalu duduk di bangku sebelah Vanes. "Nih Van bayangin, lo lagi jalan sendiri terus suasananya sepi terus gelap, tiba-tiba ada yang bisik-bisik di kuping lo. Apa lo gak bakal takut terus lari?" Jelasku panjang lebar.

"Gue pasti bakalan kayak lo sih Shil," jawab Vanessa yang berada di pihakku.

"Heleh, itu mah kalian aja yang penakut. Setan, kalo kita takut, malah makin seneng mereka. Makanya nonton Jurnalrisa, jangan yang di tonton channelnya Ria Ricis terus."

"Ba-wel."

***

Bel jam ketiga sudah berbunyi 20 menit yang lalu. Ini berarti kelas XII IPS 1 sedang berolahraga. Sudah terdengar dengan jelas pantulan bola basket yang menyetuh lapangan dari dalam kelas. Dan juga suara peluit yang ditiup.

Karena Bu Dewi -guru sejarah sedang memberikan tugas dan sedang tidak menjelaskan pelajaran, aku pun keluar dengan modus bilang izin ke toilet. Sendirian.

Benar saja, di lapangan sudah ada kelas  XII dan XI yang berolahraga di hari Jumat ini. Aku mencoba mencari seseorang yang sudah membuatku pusing 6 hari belakangan ini.

Dia yang dulunya gampang banget untuk dicari di sekolah, sekarang gatau kemana. Aku masih terus fokus meneliti setiap orang yang ada di lapangan. Lalu mengetikkan pesan kepada orang itu, berharap kali ini dibalas.

Kak, lo gak sekolah ya hari ini?

Kenapa sih?

"Gak kenapa-kenapa."

Suara dari belakang badanku begitu jelas. Dan pada saat itu juga aku melihat seseorang duduk di kursi panjang depanku. Dengan seragam olahraga yang celananya digulung sampai lutut.

"Gila ya La, notifikasi line dari lo doang sampe 78. Itu dalam seminggu ini. Coba kemaren-kemaren paling satu dua doang."

Jujur, aku masih kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Aku masih diam tidak menanggapi.

"Gue tadi liat lo dari meja piket lagi celangak-celinguk ke lapangan."

Pantes  dicari di lapangan ga ada.

"Gue yakin, pasti lo nyari gue kan?"

Masih tetap di posisiku, aku memikirkan sebuah jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaannya. Di otakku hanya ada satu pertanyaan yang sedari tadi tak bisa dikeluarkan 'lo kemana aja dari kemarin?".

Aku melihat dia menyuruhku duduk di sebelahnya. Karena memang aku tak nyaman berbicara dengannya sambil berdiri, aku langsung duduk dengan menciptakan sedikit jarak.

"Lo kemana aja kak?"

"Gue boleh seneng gak?"

Aku menatapnya bingung. "Seneng kenapa?"

"Gue seneng banget, baru kali ini ada orang yang khawatir sampe sebegitunya sama gue." Dia lalu tersenyum ke arahku. "Padahal gue gak kemana-mana, ada kok di kelas. Cuman lagi males caper aja."

"Terus kenapa chat gue gak dibales?"

"Kangen banget ya lo sama gue?" Tanpa aku duga, dia merangkulkan tangannya di bahuku.

"E-engga," kataku sambil melepaskan rangkulannya. "Ya gue penasaran aja, kenapa tiba-tiba lo ngilang."

"Merasa kehilangan kan?" Dia menaik turunkan alisnya dengan senyum yang terlihat menyebalkan.

"Sabtu kemarin lo kenapa?"

Hening. Wira yang tadinya menatap ke arahku, kini pandangannya lurus ke depan.

"Belum saatnya gue cerita sama lo." Ada jeda sekitar 1 menit dia baru menjawab pertanyaanku. Dia terlihat memejamkan matanya.

"It's okey. Gue emang gak berhak buat tau semua urusan lo. Tapi, kalo lo pengen cerita, chat gue aja." Aku tersenyum tipis ke arahnya.

"Siap bos." Dia lalu menepuk-nepuk kepala ku dengan lembut.

Tess satu dua tiga

Assalamualikum, selamat siang

Itu mas sama mba yang lagi pacaran di depan kelas XI IPS 3, harap disudahi. Kalian terpantau CCTV sedari tadi.

Astaga aku lupa, kalau di depan kelasku terpasang CCTV. Dan suara Bu Nani dari speaker sekolah tadi,  membuat beberapa teman sekelasku maupun kelas lain sudah mengintip lewat jendela.

"Cieeeeeeeee." Ucap semua yang mengintip berbarengan.

"Mampus deh gue."

*****




SELAMAT ULANG TAHUN WIRA YANG ASLI🎈

H+gatau berapa

Hello, Wira!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang