Lesson 30: Lonely [END]

301 13 7
                                    


-Kembalilah, aku rindu. Tinggallah sebentar saja, hati ini belum mampu melepasmu-

Cuaca kota Melbourne yang sedikit berangin, membuat Samuel melapisi lehernya menggunakan syal tebal sembari turun dari bus menuju kampus.

Masih tersisa waktu sepuluh menit sebelum professor datang mengajar dan cowok itu menyempatkan diri membeli hot chocolate di café serta membawa paperbag berisi dua tangkup tuna sandwich buatannya sendiri sebagai sarapan.

Tangan kirinya memegang buku ilmu kedokteran, seraya menahan tali ransel yang menampung binder juga laptopnya.

University of Melbourne memiliki bangunan bergaya era Victoria, dengan logo kampus berwarna biru tua menyala yang sangat ikonik. Memasuki tempat itu, rasanya bagai sedang berkunjung ke istana para bangsawan.

Samuel berjalan cepat menuju gedung fakultas kedokteran, masuk ke kelasmya yang terletak di lantai dua dan duduk di kursi ruang tengah. Ruangan kelasnya besar, seperti auditorium dan memiliki kursi melingkar menghadap mimbar nun jauh di sana.

Rutinitas itulah yang Samuel jalani selama kurang lebih tiga semester, ditambah berjibaku dengan berlembar-lembar paper serta tugas kelompok.

Kabar baiknya, teman sekamar Samuel adalah teman sekelasnya saat SD dulu. Dan kabar buruknya, belakangan ini ia merasa homesick di kampung halamannya tersebut.

Leo, I think you just need to relaxed, Man …go have a ‘me’ time watching your favorite movie, or join a karaoke night with me and David tomorrow.”

Jeremy, teman sekamar Samuel memberi saran saat mereka tengah mengobrol di kantin kampus.

Samuel berdecak ragu, tidak mau terlalu larut dalam kesenangan sementara kuliahnya terbengkalai karena ajakan Jeremy.

“Um, I would love too but…I prefer visit my uncle and aunt. They lived near here, so I think my homesick will be gone.”

Maka, di sela-sela jadwal kuliahnya yang kosong Samuel singgah sejenak ke rumah Om Oliver dan Tante Martha. Mereka menyambut Samuel dengan ramah, begitupula sepupu kembarnya yang masih berusia tiga bulan.

Samuel pun daiak makan malam dan tinggal bersama paman bibinya itu, sebab ayahnya sudah meminta izin. Namun rasa sungkan tetap ada, karena mereka telah banyak berbaik hati padanya sejak kecil.

“Kalau nanti kamu sudah enggak tinggal di dorm, pindah saja ke sini sama Om dan Tante. Biar kamu bisa hemat uang, enggak susah cari flat karena pasti akan berebut. Sekalian, kamu menemani Vega dan Virgo.”

“Tante juga setuju, Papa kamu sudah telepon ke rumah kami. Mau kan, Samuel? Enggak usah merasa sungkan, anggap saja ini juga rumah kamu sendiri. Waktu kecil kan, kamu sering sekali menginap kemari sama Jason dan Dylan. Foto-foto kamu dari TK sampai SD masih Tante simpan lho, di album. Mau lihat?”

Samuel menerima album foto bersampul oranye itu, membuka lembar demi lembar seraya tersenyum lucu karena baru menyadari betapa ia dan Jason tampak sangat aneh dengan seragam TK yang terkesan imut.

Ada juga foto ulang tahun mereka yang kelima, saat Samuel dan Jason belepotan krim kue tart serta meniup lilin.

Akan tetapi, Samuel masih merasa kosong, hampa serta kesepian. Melbourne yang telah lama ia tinggalkan, tak terasa seperti ‘rumah’ lagi untuknya seakan begitu asing.

Cowok itu belum mau menyerah, lantas menyempatkan diri mengunjungi sekolah dasarnya, pun tempat lain yang biasa ia kunjungi bersama Jason.

Hasilnya selalu nihil, rasa hampa di dalam hati Samuel malah semakin menjadi.

Samuel pun curhat pada Jason via Skype, berharap mendapat pencerahan tentang homesick-nya juga mimpi yang belum lama menghantuinya hingga tak bisa tertidur lelap.

“Kalau gitu Sam, mungkin aja lo lagi kangen sama seseorang di Jakarta. Allena, atau salah satu dari anak-anak White Eagles.

Bisa juga, lo cuma kangen sama hiruk pikuk kota Jakarta dan suasana rumah. Yang begitu biasa terjadi, tapi lo beruntung masih dekat sama kerabat. Enggak kayak gue dan anak-anak, di karantina cuy …”

“Memang, homesick yang gue rasain enggak seberapa kayak kalian. Gue udah coba banyak cara buat mengalihkannya, Jas. Sayangnya, belum ada yang berhasil, gue sampai enggak bisa tidur. Sering ditegur professor di kelas karena kurang fokus, kepala gue juga pusing gara-gara dapat mimpi yang sama …”

“Mimpi apaan, Sam? Dikejar-kejar mimi peri, atau dilempar bola basket sama Kobe Bryant?”

Of course not! Gue mimpi ada di taman SMA Purnama, lihat Samantha sama Jessica duduk  berdua sambil tersenyum dan menatap gue. Tapi yang gue lakukan, hanya berdiri tanpa nyamperin mereka. Terus semuanya kabur, dan besok terulang lagi. Enggak ngerti apa maknanya, yang ada gue bengong  kayak; what the heck was that?

“Tadi pagi, mimpinya beda lagi Jas. Kali ini, gue lihat Samantha pakai gaun panjang warna putih sambil bawa buket bunga. Dia mengulurkan tangannya sama gue, langsung gue gandeng erat banget. Rasanya, seolah Samantha beneran ada di sebelah gue.”

That’s the conclusion. Lo kangen sama Samantha, because she’s your ‘home.’ Gue benar kan, Sam? Ngaku deh. Separuh hati lo selalu menanti Samantha buat datang lagi.”

“Kalaupun benar, gue bisa apa Jas? Apa yang harus gue bilang sama Samantha? Gue engak mungkin minta balikan sama dia, karena gue sendiri yang udah menghancurkan cinta kita berdua bahkan—“

Then tell her that you still love her, bro. Jangan ditunda dan menyesal seumur hidup, kalau lo terlambat. Samantha itu perempuan yang spesial, enggak ada duanya buat lo. Artinya, kalau kalian ditakdirkan untuk kembali bersama tandanya Tuhan merestui kalian jadi pasangan hidup.”

Samuel merenungkan kalimat Jason yang membuatnya tertohok begitu dalam, sebab mewakili seluruh perasaannya untuk Samantha. Perenpuan itulah, alasan mengapa ia sangat merindukan ‘rumah’-nya.



🏀🏀🏀🏀


Samantha tidak berhenti mengucapkan terimakasih pada dosennya, setelah ia terpilih sebagai salah satu dari sepuluh orang ballerina yang akan tampil di acara festival seni Perancis.

Amplop berwarna putih dengan logo sekolah seni Paris digenggamnya seraya berjingkrak kegirangan dan berpelukan dengan teman-temannya.

Kurang lebih 25 hari lagi, Samantha bersama Clara, James, Jeanne, Brea dan lima orang lainnya yang tergabung dalam satu kelompok akan menampilkan pertunjukkan Swan Lake.

Sebuah cerita klasik tentang seorang gadis yang dikutuk menjadi seekor angsa, tentu dengan unsur romansa di dalamnya.

Tidak lupa, Samantha mengabari keluarganya,  juga Cecille, Belinda, Inka, Sally serta Tiara. Tetapi, mereka belum membalas pesannya karena perbedaan zona waktu dan kesibukan masing-masing.

Kalau saja mereka ada di sini,Samantha sudah pasti akan mendapat pelukan teletubbies.

Sentuhan dingin dari segelas cappucinno frappe pemberian Joyce di bahu Samantha, membuat cewek itu berhenti men-scrolling foto di galeri ponsel untuk mengobati rindu pada keluarga dan teman-temannya.

Ia agak kaget sampai jemarinya tak sengaja menyentuh aplikasi WhatsApp, menelepon nomor Samuel dari sana.

“Halo, ini benar Samantha? Gue Jason, sekarang nomor lamanya Samuel udah gue pakai dan—“

Samantha mengakhiri panggilan dengan cepat, merasa kikuk sebab ia seperti terciduk sengaja menghubungi Samuel. Joyce yang melihat itu, menyesap minumannya seraya memberikan tatapan penuh arti.

Keduanya lalu berjalan keluar dari gedung kampus, menuju auditorium untuk berlatih di hari pertama. Tanpa diberi aba-aba, Samantha menjelaskan peristiwa awkward barusan pada Joyce.

“Samuel is my ex-boyfriend who was happened to be my biggest enemy in high school. Totally silly, right? Long story short, we become friends and then fell in love. It was the craziest thing, ever …”

But Samantha, you know that you’ll never forget about Samuel. Am I right? Cause even though you guys are far apart, the memory will always be here. In your heart.”

Samantha tertaa sumir menanggapi omongan Joyce, lalu tertampar seakan mengakui kalau ia selalu menyimpan kenangannya bersama Samuel. Entah apa, status cowok itu di hatinya saat ini.

Mantan pacar, musuh, ataukah teman?

Auditorium kampus berada di dekat fakultas seni musik, yang juga terdapat lapangan basket kecil. Disana, tempat mahasiswa dan anak-anak SMA bermain.

Samantha mematung menonton seorang lelaki berpostur mirip Samuel, tengah memimpin permainan dan berhasil mencetak skor lalu bersorak riang.

Bibirnya menyunggingkan senyum, kakinya hendak melangkah namun tersadar bahwa yang akan ia datangi bukan Samuel.

Tangis kerinduan yang Samantha tahan pun, pecah bagaikan balon berisi air terkena tusukan jarum.

Pantas saja, Samantha dirundung rasa kesepian di Paris dan sempat sulit beradaptasi lantaran suasana yang teramat asing.

Hanya saja, ia keliru serta menyangka dirinya membutuhkan orangtua dan teman-temannya saja.

Dia melupakan satu orang, yaitu;

Samuel Leonard.

Bila saja jarak Paris dan Melbourne bisa ditempuh dalam sekejap, keduanya pasti akan dapat bertemu. Saling berpelukan penuh air mata rindu, kemudian tersenyum bahagia karena diberi peluang untuk bersatu.

Pertanyaannya, apakah mereka mampu mewujudkan pertemuan itu?


TAMAT

SAMUEL AND SAMANTHA  : TROUBLE COUPLE SERIES 0.1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang