18

919 105 1
                                    

Author POV

Seperti biasa, sekolah bagi seorang Aomine Daiki adalah tidur diatap. Tepat disebelah tempat penyimpanan air, disitu adalah tempat paling nyaman untuk tidur siang. Diatas sebuah sofa usang yang kemarin diangkutnya dari gudang sekolah, pemuda berkulit gelap itu berbaring, lengan tangan kanannya menutupi mata. Bersiap untuk tidur karena dia yakin pelajaran hari ini akan membosankan.

"Aomine kun." Suara itu terngiang dikepalanya. Bersama dengan bayangan seorang bersurai biru muda, menggenggam segelas minuman berwarna putih, dan tersenyum manis kearahnya.

Bibir Aomine tersenyum pelan. Dia memang sudah ikhlas, tapi mengenang masa lalu yang menyenangkan tak apa bukan?

Beberapa menit kemudian bayangan itu berganti dengan seorang beriris keemasan. Dalam bayangannya Aomine menendang orang itu, mengejeknya, dan melemparinya bola basket. Aomine tertawa mengingat kekonyolannya.

"Bagaimana bila aku mempunyai perasaan yang sama untukmu. Perasaan sepertimu untuk kurokocchi." Kalimat itu kembali berputar dikepalanya. Aomine menurunkan tangannya, matanya memandang langit biru cerah diatas kepalanya.

Jika dulu dia menyesal karena terlambat menyadari perasaannya untuk Kuroko. Apakah kali ini dia akan terlambat juga menyadari perasaannya untuk Kise. Lagi pula, kenapa harus Kise? Kenapa harus pemuda berwarna kuning yang berisik dan super narsis itu yang sekarang mencuri perhatiannya. Kenapa pula Aomine merasa bersalah ketika melihat tatapan Kise yang sedih ketika dia bercanda dengan Kuroko tempo hari.

Arrrrgggghhhhh....!!!!

Aomine meremas rambutnya kasar. Masalah seperti ini terlalu besar untuk kapasitas otak Aomine Daiki. Mungkinkah dia menyimpan perasaan untuk Kise, seperti rasa untuk Kuroko dulu. Ataukah ini hanya rasa bersalah karena telah menggantung pernyataan Kise tempo hari. Dia harus berbuat apa agar hatinya tenang tanpa rasa takut dan bersalah.

Aomine takut kehilangan Kise seperti dia kehilangan Kuroko dulu, jika memang perasaan tak tenang ini adalah rasa seperti untuk Kuroko dulu. Dan dia harus meminta maaf jika memang rasa ini bukan rasa yang sama seperti kuroko.
Bilang cinta susah amat Mine.

Aomine mengambil hp disakunya. Mengetikan beberapa kalimat dan mengirimkannya. Tanpa menunggu lama hpnya berbunyi, dia membaca sebentar dan mengetik beberapa kalimat lagi. Kemudian memasukan hpnya kedalam saku.

Mata itu kembali terpejam, tangan kanannya kembali menutupi mata. Tak lama hpnya kembali berbunyi, Aomine membuka pesan itu. Ada senyuman yang tersungging dibibirnya. Kemudian dia meletakkan hpnya diatas perutnya. Dan berusaha kembali memasuki alam mimpinya.
Kerjaan kau tidur diatap mulu Mine. Pantes itu kulit ga putih"..

######

"Oi Kise. Nanti sore ada acara? Aku ingin mengajakmu makan. Sekalian memastikan sesuatu."

"Gomen Aominecchi. Sore ini aku ada pemotretan osu. Dan tak bisa ditunda atau diganti hari. Besok juga aku bisa dibunuh Kasamatsu senpai kalo tak ikut latihan osu. Gomen..gomen..."

"Baiklah. Kalau begitu minggu saja. Aku akan menunggumu distasiun."

"Osu.. kalau minggu aku bisa atur waktunya dari sekarang. Ok, Aominecchi.."

#####

Takao POV

Beberapa hari ini aku menghindari Shin-chan. Karena perlakuannya kemarin, aku semakin tak bisa mengontrol debaran jantungku setiap kali berdekatan dengannya.

Aku tak lagi menjemputnya, dengan alasan aku bangun kesiangan. Dikelas aku juga sengaja bertukar bangku dengan Kawahara supaya aku duduk didepan. Aku beralasan mataku sakit jika duduk dibelakang dekat dengan Shin-chan. Padahal hatiku berdebar tak karuan. Aku juga tak pernah mengajaknya kekantin, karena sekarang aku membawa bento. Jadi aku makan sendiri dikelas. Ketika pulang pun aku selalu pulang terlambat, setelah memastikan Shin-chan pulang aku baru keluar dari sekolah.

Sudah 3 hari aku melakukan ini. Dan rasanya sangat tersiksa. Tapi akan jauh lebih menyakitkan lagi jika Shin-chan tahu perasaanku.

Akhirnya jam pulang sekolah tiba juga. Aku segera keluar dari kelas ketika bel pulang berbunyi dan bersembunyi dikamar mandi. Hari ini mungkin akan sedikit lebih lama. Kemarin waktu aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kelas, Shin-chan masih ada digerbang depan.

Sudah 15 menit aku duduk didalam kamar mandi. Suara didepan sudah tak terdengar lagi. Hanya beberapa langkah kaki, mungkin anggota club yang ada extra kulikuler. Aku putuskan untuk keluar kamar mandi dan berjalan memasuki kelas. Aku melirik gerbang depan dan tak melihat Shin-chan disana. Aku menghembuskan nafas lega.

Sesampainya didalam kelas yang tampak sepi. Setelah merapikan semua buku, aku bersiap untuk pulang.

"Blam.. ceklek.." suara pintu tertutup dan terkunci.

"Shin-chan.." aku terkejut melihatnya. Dia berjalan mendekat, aku berjalan mundur dan menabrak tembok. Aku takut melihat sorot matanya yang memerah marah.

"Shin-chan apa yang kau..." belum selesai aku bicara tangan kanannya berada tepat disamping telinga kiriku. Dia menahanku menepel erat ketembok. KABEDON....!!!!

"Shin... chan..." aku mulai tergagap, ketakutan. Baru kali ini kulihat Shin-chan begitu marah.

"Kau kenapa Bakao?" Ucapnya setelah beberapa saat terdiam. "Apa kau membenciku?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Lalu kenapa kau menghindar?" Aku hanya menggeleng. Diam, aku tak bisa menjawab.
Dan suasana kembali hening. Shin-chan membenarkan kacamatanya dengan tangan kirinya. Aku hanya menunduk. Masih diam.

"JAWAB AKU, TAKAO KAZUNARI." Shin-chan membentakku. Sontak aku mendongak, tatapan matanya terlihat penuh dengan amarah. Tak terasa mataku mengeluarkan cairan, tanpa tangisan, tanpa isakan. Aku masih diam memandang lekat mata hijau itu.

Pandangan Shin-chan melunak. Dia menghapus pelan air mataku. Aku menepiskan tangannya. Dia terkejut kemudian melangkah mundur. Perasaanku telah sampai dipuncaknya. Aku tak bisa lagi menahannya.

Aku mendorong tubuh Shin-chan. Aku mengusap airmata yang masih saja mengalir.

"Kau mau tahu kenapa? KARENA AKU MENYUKAIMU, MIDORIMA SHINTAROU." ucapku sambil berteriak. Shin-chan masih diam, matanya membesar. Aku sadar ini adalah akhir dari persahabatan kami, setelah ini mungkin Shin-chan tak akan mau lagi berteman denganku. Dia akan jijik terhadapku. Air mataku mengalir semakin deras.

"Kamu tahu apa yang kurasakan? Memendam perasaan ini terlalu lama. Aku nyaman berada didekatmu, dan berusaha menjadikanmu nyaman didekatku. Perlakuanmu kadang membuat perasaanku semakin kuat, tapi penolakanmu membuatku semakin jauh ingin mendapatkanmu." Ucapku, air mataku masih saja tak mau berhenti. Aku menariknya, memutar tubuh, mendorongnya ke tembok, dan menghimpit tubuhnya erat.

"Tapi aku sadar. Kamu tak akan membalas perasaanku. Kamu hanya memanfaatkanku yang tulus menyukaimu. Dari sekarang, aku akan pergi sebelum kau mengusirku Shin-chan. Aku juga akan mengundurkan diri dari basket, aku tak ingin kau yang keluar." Aku mengenggam kerah seragamnya erat. Dia masih diam, hanya memandangku. Tatapannya tak bisa kuartikan. Aku tersenyum kecut, ternyata benar. Perasaanku tak terbalas. Rasanya amat sangat sakit.

Aku melepaskan pelan tanganku yang mencengkeram kerah bajunya. Tubuhku melemas, aku hanya menunduk dan mengelap air mataku yang masih saja mengalir. Aku ingin pulang dan melanjutkan membuang semua air mata kesedihan ini. Biar esok aku terlepas dari semua beban ini.

Aku berbalik tanpa memandang sosoknya lagi. Berjalan gontai kearah mejaku, mengambil tas. Dan berjalan pelan kearah pintu. Aku ingin pulang. Badanku lelah, mataku perih, dan hatiku terasa amat sakit. Lihatlah dia, seorang Midorima Shintarou. Dia masih diam disana, aku tak tahu dia melihat kemana. Aku putus asa sudah.

Aku akan melepaskannya. Membuang semua perasaanku untuknya. Aku akan berhenti mengaguminya. Aku akan pergi.

Tanganku meraih kunci di kenop pintu. Memutarnya perlahan. Ada sedikit rasa yang tak ingin pergi dari sini. Ada satu sisi hati yang ingin memeluknya sekali lagi. Ada sisi hati yang menyesal telah melakukan ini, tapi ada juga sisi hati yang merasa lega karena perasaanku tersampaikan.

########

Potong sini dulu...
Lanjut lagi, entah besok, entah lusa.,,,,

hohohohohoho...

Minta vote donk..

See you next chapter.....

BLUE SUNSETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang