35

790 88 15
                                    

Himuro POV

"Mura. Ehmmm.... apakah....." ucapanku tak sampai. Hati ini ingin sekali menanyakannya. Tapi mulut ini tak mau terbuka dan mengungkap isi hatiku.

Mura memandangiku lekat. Ranjang rawat kami berbeda, tapi tetap satu kamar. Dan, ruangan ini sepi. Sepulang anggota Kisedai tadi, tak ada seorangpun yang menengok kami.

Kalau aku karena orang tuaku ada diluar negeri. Jadi tadi aku hanya menelepon mereka. Tapi kenapa orang tua Mura tidak menengok.

"Kenapa Himuro?" Tanya Mura. Mulutnya masih sibuk mengunyah snack yang tadi dibawakan teman-temannya.

"Itu... ehm... kenapa... ano...." entah kenapa mulut dan otak ini enggan bekerja sama.

"Kekuargaku?" Ucapnya tiba-tiba. "Apakah itu yang ingin kau tanyakan?" Ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk pelan.

Aku melihat sebuah senyuman tersungging dibibirnya. "Mereka tidak akan datang." Ucapnya singkat. Aku menolehkan wajahku menatapnya.

Wajahnya masih tampak santai. Dengan mulut yang terus mengunyah. "Kenapa?" Tanyaku.

"Ayumi pernah ke rumah. Dan dia pasti menceritakan semuanya ke Ayah. Orang tua kolot itu tak akan sudi menerima anaknya yang menyukai laki-laki. Aku pasti dianggap aib oleh mereka. Jadi tak mungkin mereka kesini." Jawab Mura. Bagaimana..? Bagimana ini, apakah ucapan gadis itu benar. Kalau aku hanya menghancurkan kehidupan seorang Murasakibara Atushi.?

"Aku... aku...." ucapku. Kepalaku menunduk sudah. Dadaku dipenuhi rasa penyesalan.

Seandainya aku tak mendekatinya dulu. Seandainya aku tidak mencintainya. Seandainya aku menolaknya ketika ingin menginap dirumahku dulu. Seandainya aku membatasi perasaan ini. Seandainya....

"Jangan ucapkan maaf." Ucapnya. Dia memandangiku lekat, sementara aku masih berusaha menatap matanya dalam.

"Kau bukan kesalahan. Jangan menyesal, karena jika bukan denganmu aku tidak akan seperti ini. Tanpamu, aku akan tetap menjadi seorang Murasakibara Atushi yang egois." Ucapnya. Dia tersenyum.

"Tapi, jika seandainya kita tidak bersama. Jika seandainya kita masih berteman. Pasti hubunganmu dengan orang tuamu akan baik-baik saja." Ucapku. Aku mati-matian menahan lelehan air mata yang sudah diujung mataku.

"Jika bukan denganmu aku tak akan perduli. Jika bukan kamu, aku tak akan jatuh cinta." Manusia bodoh, seharusnya jangan ucapkan itu. Membuat hatiku semakin jatuh dan mencintainya.

"Tapi... tapi... aku... menghancurkan...." akhirnya air mata yang berusaha kubendung tumpah sudah. Cairan bening yang terasa hangat dan asin itu membanjiri pipiku. Mendesak keluar seiring hatiku yang terasa sakit.

Tapi dia. Dia berdiri dari ranjangnya. Melepaskan snack yang dari tadi digenggamnya erat. Mengabaikan rasa sakit selang infus yang melilit tangannya. Dia, Murasakibara. Dia memelukku. Menyusupkan kepalaku di dadanya yang bidang. Tanpa berkata apapun, dia mengelus kepalaku pelan. Dan sikapnya itu menenangkanku. Aku menikmatinya.

"Mura...." ucapku disela isakan. Kenapa aku begitu mencintai pemuda ini. Hingga sakit rasanya hanya karena memikirkannya.

"Jangan pernah berfikir hubungan kita berakhir disini." Ucapnya. Tangannya masih memeluk kepalaku yang menempel di dadanya.
"Aku memang tak senekad Aka-chin. Tapi aku akan melakukan hal yang sama jika mereka tak mau menerima kita." Ucapnya pelan. Tanganku masih melingkar dipinggangnya.

"Aku mencintaimu, Murasakibara Atushi." Ucapku ditengah isakan. Sungguh aku tak ingin melepaskan dia. Tak pernah ingin.

"Teruskah seperti ini. Tatsuya Himuro. Aku selalu mencintaimu." Ucapnya. Dia memegang kepalaku pelan dan mencium pucuk kepalaku. Ada sedikit perasaan lega dihati.

BLUE SUNSETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang