"KAK, kita ke sana, yuk!" Aku berseru antusias saat mobil yang dikemudikan Kak Juna melewati taman kota.
Kak Juna menurut, menepikan mobil ke sisi taman yang memang dikhususkan sebagai tempat parkir. Kemudian, kami melepas sabuk pengaman masing-masing. "Tunggu, jangan turun dulu," cegah Kak Juna saat aku hendak membuka pintu mobil.
Aku tidak membantah, hanya diam memperhatikannya yang sudah keluar dan mengitari kap mobil demi membukakan pintu di sebelahku. Berubah versi Kak Juna memang tidak main-main. Siap atau tidak, dia akan melakukan apa pun yang sudah tertanam di hidupnya. Dia bertekad untuk memperlakukanku lebih baik lagi, maka aku akan memercayainya.
"Tuan Putri harus diperlakukan istimewa," ujar Kak Juna, membantuku keluar dari mobil.
Aku memutar bola mata malas padanya. Serius, kalau Kak Juna menyebutku seperti itu, dia benar-benar tidak jauh berbeda dengan Bang Ghani. "Berhenti panggil aku kayak gitu, Kak."
"Kamu nggak suka, ya?" tanya Kak Juna. Kami sudah berjalan memasuki taman dengan tangan yang tiba-tiba sudah saling bertautan-aku tidak menyadarinya sebelumnya.
"Nggak suka," jawabku ringkas.
"Kakak selalu bingung soal ini, Cal," tutur Kak Juna tiba-tiba, membuatku menatapnya tertarik. "Selama hampir satu tahun pacaran, kita nggak punya panggilan sayang."
Aku diam, menerawang. Kami memang tidak memanggil satu sama lain dengan panggilan khusus seperti pasangan kekasih di luar sana. Namun, aku tidak pernah keberatan. Tanpa panggilan apa pun, semua orang pasti tahu bahwa aku dan Kak Juna saling menyayangi.
"Mau nggak kalau kita bikin panggilan sayang?" cetus Kak Juna.
Menimbang-nimbang sebentar, sepertinya itu bukan ide yang buruk. Aku memang baik-baik saja tanpa panggilan khusus, tetapi tidak masalah jika kami mencoba memilikinya. Aku pun mengangguk atas tawaran Kak Juna.
"Kamu punya saran?"
Aku berdeham panjang, berpikir. "Baby?" usulku.
Kak Juna menggeleng. "Yang lain aja. Udah mainstream."
Aku mengangkat bahu. Otakku enggan berputar lebih jauh. Niatku kan ingin bersenang-senang dengan Kak Juna, bukan malah dibuat repot memikirkan nama panggilan kami. "Kakak mau manggil aku apa?" tanyaku balik.
"Eh, hem ...," Kak Juna ikut berpikir, "Tuan Putri?"
"Ih, kok Tuan Putri?!" protesku dengan nada sedikit tinggi. Aku tidak suka dipanggil begitu. Cukup Bang Ghani saja yang menyebalkan. Kak Juna jangan sampai ikut-ikutan.
"Kakak nggak manggil kamu Tuan Putri buat ngejek kamu, kok. Bagi Kakak, kamu memang Tuan Putri di hati ini. Nanti kalau kita udah sama-sama cukup umur, kamu mau jadi ratunya, kan?"
Astaga, aku tidak menyangka gombalan Kak Juna akan semakin parah saja. Dulu dia tidak segenit ini, serius. Aku jadi takut kalau-kalau pacarku sedang dirasuki sesuatu.
"Nggak mau, ya?" tanya Kak Juna.
Aku menggeleng, tetapi detik berikutnya mengangguk. Senyum tersipuku tak tertahan lagi. "Aku mau, Kak ...."
Tawa Kak Juna yang mulai familier meledak mendengar jawabanku. Dia mengusak kepalaku entah untuk yang keberapa kali. Untung saja aku memakai pita hari ini, jadi rambutku tidak akan begitu berantakan oleh tangan nakalnya.
Langkah kami segera berhenti saat melihat ada bangku kosong di bawah pohon yang rindang. Taman ini memang ramai, jadi cukup sulit untuk sekadar menemukan tempat duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Teen FictionPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...