○ 9. Egois ○

803 164 0
                                    

KARENA takut kelabakan lagi seperti kemarin, hari ini aku bangun lebih awal. Aku tidak sabar untuk menunggu Kak Juna menjemput. Sepanjang menuruni anak tangga, bibirku terus mengukir senyum ceria, lama-lama seperti orang gila karena memikirkan pacarku itu.

“Lelet amat sih, Tuan Putri. Teman kamu udah nunggu, tu,” celetuk Bang Ghani dari arah belakang. Dia baru selesai mematikan lampu dapur. Abangku itu terlihat telah siap dengan kemeja hitamnya yang berbeda dari kemarin. Rambutnya disisir klimis dan berjambul seperti biasa.

Mendadak langkahku terhenti. Aku menoleh tertarik pada Bang Ghani. “Maksud Abang pacar aku, ya? Kak Juna?”

Bang Ghani berdecak. “Bukan, tapi teman kamu yang waktu itu datang ke rumah. Si KBBI berjalan itu, siapa namanya?”

“Oh, namanya Bev Al—eh, APA?!” Aku refleks memekik kaget saat menyadari sesuatu.

“Kamu pergi sama Juna, kan? Cepat keluar, bilang sama temanmu itu buat pergi duluan,” titah Bang Ghani.

Tanpa disuruh dua kali, aku bergegas menghampiri Mr. Zero di luar sana. Aku akan menyemprot cowok itu habis-habisan. Berani sekali dia mendatangi rumahku sepagi ini. Dia pikir dia siapa? Dia benar-benar melakukan segala hal seenaknya. Dasar sumbu pendek.

“Hei, Mister Zero!” seruku dengan suara lantang. Aku berkacak pinggang di depan pintu, sementara Mr. Zero duduk anteng di dalam mobilnya yang terparkir di depan pagar rumahku. “Kenapa kamu ada di rumahku? Ini masih pagi! Kamu udah gila, ya?!”

Mr. Zero menyembulkan kepala dari jendela mobil dan mengulas senyum sok ramah padaku. “Hai, Tuan Putri,” sapanya sambil melambaikan tangan. Seolah tidak memedulikan racauanku, dia malah bertanya, “Kamu mau berangkat bersama saya?”

Aku menggeleng kuat. “Aku pergi sama pacarku! Kamu pergi duluan aja!” balasku setengah berteriak karena posisi kami memang tidak cukup dekat.

Hm, jujur saya kecewa mendengarnya,” lirih Mr. Zero yang masih bisa kudengar. “Tapi, saya tidak akan memaksa. Kalau begitu, saya pergi duluan.”

“Ya, silakan!” sahutku ketus. Selepas itu, Mr. Zero melajukan mobilnya meninggalkan rumahku. Aku mengembuskan napas kasar. Pagi-pagi begini ada saja orang yang membuatku naik pitam.

Aku segera berbalik badan dan masuk kembali ke dalam rumah. Bang Ghani terlihat sibuk merogoh isi tasnya di atas sofa. Aku pun bergabung duduk di sampingnya sesekali mencuri pandang pada kesibukannya.

“Cari apa, Bang?” tanyaku basa-basi.

Bang Ghani menoleh dan menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. “Kamu lihat binder Abang, nggak? Perasaan waktu itu masih ada di dalam tas.”

Ah, binder itu. Sebetulnya aku tahu di mana keberadaan benda yang Bang Ghani maksud. Aku pernah menemukannya saat libur semester kemarin di bawah kolong meja. Sekarang binder itu sudah kuamankan di suatu tempat, sengaja tidak kukembalikan sampai abangku sendiri yang menyadari kehilangannya. Salahkan Bang Ghani yang selalu ceroboh. Satu-satunya kebiasaan buruk abangku—selain menggangguku—adalah mudah melupakan sesuatu. Dia harus diberi sedikit pelajaran.

“Waktu itu kapan, Bang?” Aku balik bertanya, berniat menyulut emosinya.

“Ya, pokoknya waktu itu, deh,” jawab Bang Ghani, terdengar sedikit kesal. “Perasaan nggak pernah Abang keluarin dari tas. Kok bisa nggak ada, sih?”

“Perasaan Abang doang, kali,” sahutku malas. Aku mencomot sembarang koran dari kolong meja dan membacanya asal.

“Heh,” Bang Ghani yang ternyata menyadari sesuatu mengerling padaku, “kamu yang sembunyiin, kan?”

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang