“TUAN Putri.”
Panggilan dari Bev membuatku memalingkan diri dari lautan pikiran. Selama memandangi kepergian Naira berikut Kak Juna dan Nala, aku jadi memikirkan hal random seperti bagaimana cara menghilangkan Naira. Tidak, maksudku bukan benar-benar menghilangkannya. Aku hanya ... sedikit syok dengan kenyataan bahwa dia adalah saudara Bev.
“Apakah kamu sedang bad mood?” tanya Bev.
Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Bev. Ayo kita lanjut cari bukunya. Nanti Bang Ghani keburu selesai makan.”
“Ayo,” ajak Bev, lantas mengulurkan tangan padaku.
Sejenak aku tertegun. Rasanya sudah lama sekali kami tidak berpegangan tangan. Bev selalu menjaga jarak denganku akhir-akhir ini. Heran, aku pun tidak kunjung membalas uluran tangannya, lebih berkepentingan untuk menatap wajah tampannya dengan bingung. “Nggak pa-pa?”
Alih-alih menjawab pertanyaan raguku, Bev langsung meraih tanganku dan menggenggamnya selembut biasa. “Kita tadi sudah berpelukan. Mengapa sekadar berpegangan tangan saja tidak bisa?” Dia membalas dengan telak.
Sebetulnya pelukan itu—yang terjadi di ruang tengah rumahku—merupakan bentuk refleks dariku saat pertama melihat penampakan Bev setelah sekian lama. Aku tidak bermaksud melakukannya. Itu hanya ... terjadi begitu saja.
Bev menyunggingkan senyum dan mengeratkan genggaman tangan kami. “Hitung-hitung latihan. Sebentar lagi kita akan pacaran, tidak lucu kalau kita kaku saat gandengan.”
Aku bergidik geli mendengarnya, lalu dengan pasrah mengikuti langkah kecilnya menyusuri toko buku. “Kalau Bang Ghani tau, gimana? Nanti dia marah lagi sama kamu.”
“Kenapa dia harus marah? Bukankah dia sudah merestui kita?” Bev balik bertanya, sukses membuatku kehabisan kata-kata.
“Hng ... ya, bukan gitu. Kita kan belum resmi ....”
“Setidaknya kita sama-sama mengakui kalau kita saling mencintai, Tuan Putri.”
“Aku belum cinta sama kamu, Bev,” koreksiku. “Terlalu cepat menyebutnya cinta.”
“Itulah sebabnya saya meminta kamu untuk mempertimbangkan perasaan kamu terlebih dahulu. Tuhan sangat mudah membolak-balikkan hati. Siapa tahu besok kamu balik membenci saya.”
“Aku nggak mau benci kamu lagi.”
“Kamu akan mencintai saya, kalau begitu.”
“Eh?”
Bev mendengkus geli dan mengusak rambutku secara tiba-tiba—yang otomatis membuat tautan tangan kami terlepas. Entah kenapa aku justru terdiam atas perlakuan manisnya. “Apa ada sesuatu yang sedang mengganggu kamu, Tuan Putri?”
“Eh? Nggak ada, tu,” jawabku, menjauhkan tangannya dari kepalaku dan beralih menggenggamnya erat.
“Serius?”
“Kenapa nanya begitu? Ada yang aneh dari aku?”
“Tidak ada. Itu sebabnya saya bertanya,” jawab Bev.
Aku yang semakin tidak mengerti arah percakapan pun kembali bergidik, enggan melanjutkan. Kami sudah tiba di depan rak yang menjajakan novel terjemahan. Aku mengambil beberapa novel yang ada di list-ku. Totalnya empat dan semuanya merupakan cerita berseri yang saling berkelanjutan.
“Apakah itu berat?” tanya Bev, melirik setumpuk novel tebal yang baru saja kuambil dari sana.
Aku menggeleng lalu menunjuk bagian teratas rak. “Kamu bisa ambil itu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Teen FictionPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...