○ 7. Kehebohan ○

851 156 18
                                    

TEPAT setelah kepergian Kak Juna, bel masuk berbunyi nyaring. Murid-murid yang semula berada di luar segera berhamburan memasuki kelas. Teman-teman kelasku, tepatnya rombongan siswi hits yang ada di barisan paling kiri, terdengar heboh. Mereka berbincang mengenai liburan sekolah masing-masing, tampak asyik sekali seperti tidak mendengar suara bel berkumandang sebelumnya.

Beberapa teman yang lain, termasuk anak cowok, juga terdengar berbisik-bisik. Mereka sedang membicarakan Mr. Zero yang tiba-tiba saja memasuki kelas kami seenaknya. Bukan hanya mereka, aku juga bingung. Aku jadi mulai menerka-nerka kalau Mr. Zero sedang merencanakan sesuatu. Bisa saja, kan? Anak itu mungkin belum puas membuatku kesal hanya dengan menyabet peringkat pertamaku. Sejak dulu, dia memang sangat memusuhiku. Dia pasti punya rencana yang lebih serius ke depannya.

“Eh, Cal.” Zara tiba-tiba memanggil, menyikut lenganku. Dia membuyarkan pikiran panjangku tentang Mr. Zero, tetapi itu tidak cukup membuat kaget. Aku menoleh padanya dengan alis terangkat. “Mister Zero itu, siapa namanya?” tanya Zara. Dia menunjuk pada seorang siswa yang duduk di pojok belakang kelas sendirian. Siswa itu mengenakan earphone sambil sibuk menuliskan sesuatu di atas buku, kemudian mencoret dan merobeknya seperti orang gila.

“Bev Alnick,” sahutku.

Sejujurnya aku selalu tidak habis pikir dengan Mr. Zero. Semua tentangnya seolah sulit dicerna akal sehat dan tidak pernah gagal membuat mumet kepala. Namun, aku tetap tidak bisa menghindar dari memikirkannya sehabis bersinggungan dengannya tadi pagi. Ada begitu banyak tanya dalam benakku saat ini. Untuk apa dia ada di kelas kami? Betulkah ini adalah kelasnya sekarang? Namun, mengapa? Apakah hal itu dia lakukan karena ingin berperang lagi denganku? Benarkah dia punya rencana yang lebih serius dari sekadar menyabet peringkat satuku di sekolah?

Baiklah, bukankah sudah kubilang bahwa memikirkan cowok bernama lengkap Bev Alnick itu memang tidak ada habisnya?

“Nah, iya, kenapa dia masuk ke kelas kita?” Zara melanjutkan pertanyaan. Dia kembali menyentak kekurang-kerjaanku memikirkan Mr. Zero yang bahkan terlihat abai dengan bisik-bisik di kelas.

“Kayaknya salah masuk kelas. Dia lagi ngelindur, tu,” jawabku asal.

Zara hanya manggut-manggut sok paham. Sepertinya dia meresapi ucapan sekenaku. “Benar juga, ya. Dia kan tukang gabut,” katanya.

Aku hanya mengedik kecil, tidak meladeni lagi.

Beberapa detik kemudian, Zara seperti teringat sesuatu. Wajahnya berubah penasaran dan sedikit antusias. “Soal peringkat paralel itu gimana, Cal? Kamu udah tanya sama si Mister Zero?”

Mendengar itu, otakku segera berputar pada kejadian dua pekan yang lalu. Zara-lah yang pertama kali tahu jika namaku berada di urutan kedua dalam daftar peringkat paralel. Dia mengadu padaku, lalu aku pun tersulut dan marah padanya. Aku tidak percaya, tentu saja. Jadi, kuputuskan untuk melihat sendiri daftar itu di mading sekolah.

Dan, ya, semua itu benar adanya. Namaku berada di urutan kedua, tepat di bawah seorang cowok menyebalkan bernama Bev Alnick. Sssh, malas sekali menyebut namanya yang cukup keren itu. Aku lebih nyaman memanggilnya Mr. Zero.

Zara menaik-turunkan alisnya, menunggu jawabanku. Sebetulnya aku malas membahas tentang Mr. Zero. Maksudku, baiklah, otakku memang sedari tadi dipenuhi dengan namanya. Namun, tidak cukupkah sampai di sana? Haruskah aku mengangkat topik tentangnya ke dalam percakapan bersama Zara? Mr. Zero selalu menyebalkan bahkan saat aku hanya memikirkannya, apalagi jika betulan membahas tentangnya.

Akhirnya aku menghela napas berat. “Udah, Ra. Tukang gabut itu cuma iseng katanya.”

“Aku jadi heran, Cal,” ungkap Zara menimbang-nimbang. Aku hanya menanggapi dengan dehaman kalem. “Kayaknya Mister Zero itu beneran suka sama kamu.”

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang