MR. Zero ternyata menepati ucapannya. Sesampai di dalam kelas, aku tidak lagi disambut olehnya seperti biasa. Dia—yang sudah datang lebih dulu—hanya duduk dan tampak asyik mendengarkan sesuatu dari earphone-nya. Sempat melirikku sekilas, tetapi selanjutnya dia kembali memejamkan mata dan melanjutkan kehikmatan tidur sambil mendengarkan musik yang entah apalah itu.
Huh, sikapnya kembali acuh tak acuh seperti dulu. Aku enggan memikirkannya, tetapi sampai waktu istirahat tiba pun, Mr. Zero benar-benar membuatku tidak habis pikir, terlebih dengan Naira yang tiba-tiba pindah duduk di sampingnya. Hal itu membuat hatiku tersulut, entah kenapa.
“Bev, nanti ajarin ya kalau aku nggak ngerti penjelasan Pak Adri,” kata Naira.
Aku hanya mendengarkan dari bangku, pura-pura sibuk membolak-balik buku paket matematika minat. Sehabis ini adalah jam pelajaran Pak Adri. Wajar jika Naira meminta diajari oleh Mr. Zero, aku sendiri saja sering sulit menangkap penjelasan Pak Adri. Guru itu menjelaskan begitu ringkas dan membuat kami harus memahami lagi dengan cara sendiri.
“Iya,” sahut Mr. Zero dengan suara kalem. Aku memutar kepala ke belakang, menyorot ke sudut kelas di mana cowok itu berada. Dia terlihat sedang menulis sesuatu di bukunya.
“Calista,” panggil seseorang tiba-tiba.
Aku tersentak dari fokusku pada Mr. Zero dan menoleh ke sumber suara. “Ada apa, Ji?”
Ternyata itu adalah Aji, ketua kelas kami.
“Kamu dipanggil Miss Yuna ke ruang guru,” ujar Aji memberi tahu.
“Eh? Kenapa Miss Yuna manggil aku?”
Aji mengangkat kedua bahu. “Nggak tahu juga aku,” jawabnya. “Eh, kamu mau ditemani ke sana? Sekalian aku mau ngumpul tugas bahasa Indonesia tadi.”
Aku diam sejenak untuk berpikir, kemudian mengangguk setuju. “Boleh, Ji,” balasku. Lalu, kuambil posisi berdiri setelah menutup buku paket dan membiarkannya di atas meja.
“Sebentar ya, aku ambil bukunya dulu,” pamit Aji.
Aku hanya mengangguk. Aji lantas berjalan menuju mejanya untuk mengambil tumpukan buku tulis bahasa Indonesia. Segera setelahnya dia kembali menghampiriku. Diulasnya segaris senyum tipis, kemudian dialihkannya pandangan ke seisi kelas.
“Teman-teman, tugas bahasa Indonesia-nya aku kumpul sekarang, ya!” Aji berujar dengan suara lantang. “Ada yang belum selesai?” tanyanya kemudian.
Sebetulnya sia-sia jika Aji berseru seperti itu. Warga kelas kami sangat sedikit saat ini karena kebanyakan sudah menghambur ke kantin untuk menghabiskan waktu istirahat. Awalnya kupikir tidak akan ada yang menyahuti, sampai akhirnya seseorang di sudut kelas mengangkat tangannya.
“Saya belum selesai,” ucap orang itu tenang. Ya, siapa lagi kalau bukan oknum bernama Bev Alnick.
“Eh? Masih banyak nggak, Bev?” tanya Aji.
“Tidak apa-apa kalau mau kumpul duluan. Nanti saya menyusul,” sahut Mr. Zero. Setelah mengucapkan kalimat itu dan sempat melirikku dengan datar, dia kembali pada kesibukan menulisnya.
“Oke, deh,” singkat Aji. Dia segera beralih padaku. “Ayo pergi, Cal,” ajaknya. Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya.
“Mau aku bantu bawain nggak, Ji?” Aku menawarkan, melirik pada tumpukan buku di tangan Aji yang menjulang tinggi.
Aji menoleh padaku kemudian menggeleng. “Nggak usah, Cal, enteng gini,” tampiknya santai.
“Oh, ya udah,” simpulku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Genç KurguPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...