○ 5. Bunda ○

1K 172 24
                                    

“AYO kita bicarakan soal itu,” kata Mr. Zero. Kami sudah menghabiskan sarapan dalam porsi banyak itu. Aku tidak menyangka jika dia tidak kalah rakus dariku.

Setelah menenggak habis air putih (yang terhitung sebagai gelas ketiga), aku segera memfokuskan diri pada Mr. Zero. “Kamu jelasin sekarang,” tuntutku, mulai bergerak menyingkirkan piring bekas makanan supaya lebih leluasa berbicara dengannya.

“Saya memang mengikuti ujian kelas dua belas itu,” buka Mr. Zero. “Saya hanya iseng. Sudah lama saya menyimpan otak cerdas ini sendirian. Sekarang adalah saatnya saya pamer pada dunia.”

Baiklah, aku sudah menduga hal itu dalam ketakutanku. Dia pasti iseng melakukannya. Namun, tetap saja, itu tidak dibenarkan. “Kenapa kamu bisa ikut ujian itu? Kamu nyogok Pak Roma, ya?” Aku menerka sembarang, menyebut nama kepala sekolah kami. Masuk akal bukan jika Mr. Zero betulan menyogok Pak Roma? Seingatku, ayahnya adalah seorang pengacara terkenal yang sering menangani kasus hukum para orang penting. Keluarganya pasti punya koneksi di mana-mana.

Mr. Zero tertawa, mengibaskan tangan di udara yang seolah menjadi ciri khasnya. “Pikiranmu memang selalu kotor ya, Gadis Kolot.”

“Namaku bukan Gadis Kolot!” Aku memprotes. Panggilan itu benar-benar menyinggung perasaanku.

“Nama saya juga bukan Mister Zero,” sahutnya santai.

“Aku nggak peduli. Semua orang manggil kamu begitu. Aku cuma ikutan aja,” ucapku defensif. Dia memang dipanggil Mr. Zero sejak SMP. Aku hanya terbiasa memanggilnya begitu.

“Justru kamulah yang membuat saya dikenal dengan nama itu.” Mr. Zero memandangku masygul. Tatapan songongnya itu, ah, rasanya aku ingin mencungkil matanya. “Itu panggilan saya sewaktu SMP. Kamu yang membawanya sampai kita SMA. Dasar Gadis Kolot.”

Errr!” Aku mencakar udara saking kesalnya. Sejak dulu memang tidak pernah mudah berdebat dengan Mr. Zero. Kesabaranku selalu diuji.

“Saya tidak menyuap siapa pun. Saya sendiri yang membujuk Pak Roma supaya mengizinkan saya mengikuti ujian kelas dua belas,” lanjut Mr. Zero, kembali memosisikan diri pada bahasan. “Apakah itu sudah cukup sebagai penjelasan?”

“Tapi, itu benar-benar nggak masuk akal.” Aku tetap kukuh pada keyakinanku.

Mr. Zero sekali lagi mengibaskan tangan di udara. Dia tampak selalu santai menanggapi apa pun. “Kamu mengkhawatirkan pacarmu, ya?” terkanya tiba-tiba.

Aku mengernyitkan dahi. Maksudnya apa?

“Kamu tenang saja. Nama saya memang ada di daftar itu, tapi pacar kamu tetap mendapatkan penghargaan sebagai juara umum. Saya hanya menumpang nama di sana.”

“Kenapa begitu?” tanyaku.

Ck! Dasar kolot!” rutuk Mr. Zero. Tangan jailnya menoyor pelan jidatku tanpa komando. Aku hanya mengaduh keki menerima perlakuan itu. “Tentu saja bisa begitu. Saya boleh jadi peringkat satu, tapi saya bukan kelas dua belas. Saya tidak mendapatkan penghargaan apa-apa dari itu. Kan, sudah saya bilang kalau saya hanya iseng.”

Aku ikutan mengibaskan tangan di udara. Penjelasannya sulit kucerna. Bahasanya terlalu kaku dan memusingkan. “Kamu pasti dapat penghargaaan dari peringkat satumu di kelas sebelas, kan? Kamu udah merebut posisiku.”

Mr. Zero mengedikkan kedua bahu. “Belum saya ambil. Kalau kamu tidak rela saya menerimanya, tidak akan saya ambil penghargaan itu. Biar untuk kamu saja.”

“Yang aku maksud bukan uang pembinaan, tapi sertifikat juara umum! Enteng banget sih bicaramu itu?!” kataku tidak terima. Mr. Zero terdengar seperti menganggap remeh diriku. Ah, dia memang terlalu sombong.

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang