○ 28. Toko Buku ○

496 122 3
                                    

KAMU mau membeli buku apa, Tuan Putri?” Bev bertanya saat kami baru memasuki toko buku.

Bang Ghani sudah pamit untuk memencar, mencari makanan. Selalu saja begitu setiap kali dia menemaniku ke toko buku. Dia tidak pernah nyaman berada di sini terlalu lama. Pada akhirnya, aku benar-benar berakhir berdua dengan Bev.

Ternyata ucapan Bang Ghani yang “kalian nggak boleh berduaan” hanya menjadi wacana sekarang.

“Sebentar,” sahutku singkat. Tanganku bergerak merogoh tas kecil yang kubawa dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Aku ingat bahwa aku mencatat daftar buku-buku yang ingin kubeli di dalam memo ponsel. “Banyak, Bev,” jawabku setelah mengecek ulang daftar tersebut.

“Boleh saya lihat? Saya ingin membantu menemukannya,” kata Bev. Aku mengangguk dan tanpa keberatan menyerahkan ponselku padanya. Bev menerimanya, lantas memandangi daftar tersebut dengan saksama selama beberapa detik, seperti sedang menghafalnya. Setelah selesai, diserahkannya kembali ponselku. Sebuah senyum terulas di bibir kakunya.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Kamu memiliki selera bacaan yang sama dengan saya,” ungkap Bev, terdengar bangga. Belum sempat aku menyahut, dia sudah melanjutkan, “Mari ikuti saya. Saya tahu seluk-beluk toko buku ini. Kamu memilih orang yang tepat untuk menjadi tour guide kamu di tempat seperti ini.”

Aku berkedik geli mendengar ucapan pecaya dirinya, lalu mengikuti langkah kecilnya menyusuri lorong-lorong yang ada. “Apa perpustakaan di rumah kamu koleksinya selengkap toko buku ini, Bev?” tanyaku, tiba-tiba teringat tentang perpustakaan pribadinya.

Bev menoleh padaku, bergeming sejenak seperti sedang menimbang sesuatu. Selanjutnya, dia mengedikkan kedua bahu. “Saya rasa itu tidak selengkap toko buku ini sekarang. Entahlah, saya sudah jarang mengikuti perkembangan berbagai jenis buku.”

“Eh? Kenapa gitu?” Aku bertanya tertarik.

“Tentu aja begitu, Bev kan lagi sibuk-sibuknya nulis lagu,” celetuk sebuah suara. Suara menyebalkan itu, aku segera tahu bahwa itu adalah Naira. Kutolehkan kepala dengan sinis padanya. Namun, rautku segera berubah kaget kala menyadari siapa yang datang bersamanya.

“Halo, Calista,” sapa Kak Juna ramah.

“Kak Juna? Kakak kenapa di sini?”

Kak Juna terkekeh menerima pertanyaan lugasku. Sebagai pelampiasan, dia mengusak rambut seorang gadis kecil yang berdiri di tengah-tengah dirinya dan Naira. “Kakak lagi cari buku kisi-kisi UN di sini, sekalian habis ini mau ngajak Nala jalan-jalan.”

Hng ....” Aku mengerang bingung. Bukan begitu maksud pertanyaanku. Aku hendak menanyakan kenapa Kak Juna dan Nala bisa ada di sini bersama Naira. Apa hubungan apa mereka?

“Udah, kasih tau aja, Kak,” sela Naira pada Kak Juna. “Kayaknya dia bingung banget, nggak habis pikir kenapa aku bisa sama Kakak.”

Kak Juna ikut mengerang pendek, menggaruk tengkuknya yang kuyakin tidak gatal. Dia hendak membuka suara, tepat saat Bev lebih dulu angkat bicara.

“Biar saya yang memberitahunya.” Bev menginterupsi sambil mengangkat tangan kanan. Dia lalu menatapku serius selama beberapa detik. Aku hanya diam menantikan apa yang akan dikatakannya. “Tolong jangan marah karena saya telah menyembunyikan hal ini dari kamu.”

Hm?” sahutku.

“Naira adalah sepupu saya, kakaknya Nala.”

“Apa?”

“Ih, kamu budek, ya?” Naira merutuki reaksi tidak percayaku. Dasar menyebalkan. “Aku ini sepupunya Bev sekaligus Kak Juna. Ah, aku tau, kamu pasti minder kan karena aku lebih cantik dari kamu?”

Crush on Mr. Zero ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang