LIBURAN akhirnya tiba di muara. Pagi-pagi sekali, aku telah disibukkan untuk bersiap-siap. Tidak, aku bukannya baru akan menyiapkan peralatan sekolah—aku sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Hanya saja, pagi ini aku kelabakan berdandan karena Kak Juna tiba-tiba menjemput untuk berangkat sekolah bersama.
Bang Ghani sampai ikutan repot meneriakiku agar segera keluar dari kamar. Dia terus memanggilku Tuan Putri, sesekali mengejek betapa bertele-telenya Tuan Putri ini. Aku tidak punya waktu untuk meladeninya karena aku sendiri pun sedang terburu-buru memoleskan bedak dan memakai liptint.
Sebetulnya aku takut berdandan seperti ini ke sekolah. Kalau ketahuan, enyahlah citraku sebagai murid teladan kebanggaan guru. Namun, mengingat diri ini akan berdampingan dengan Kak Juna, mau tak mau aku harus tampil sedikit lebih cantik. Bahaya kalau aku lengah sedikit saja. Ada banyak siswi di sekolah kami yang mengincar pangeranku.
Setelah melakukan sentuhan terakhir pada rambut dengan menjepitkan pita—mulai sekarang aku akan memakainya mengingat Kak Juna sering membuat berantakan rambutku, aku gesit mengambil tas dan berjalan cepat menuju ruang tamu. Kak Juna sudah siap dengan seragam sekolahnya. Penampilannya sangat sederhana dan rapi, tetapi untuk kesekian kalinya, dia selalu keren di mataku.
Kak Juna langsung berdiri dari duduknya begitu tahu aku telah siap. Dia langsung menghampiriku, menatap penampilanku dari atas sampai bawah, tersenyum manis. “Kamu dandan, ya?” tanyanya berbisik.
Aku hanya menunduk malu, berusaha menyembunyikan wajah dari Kak Juna dan Bang Ghani. Ah, bahaya kalau abangku juga tahu. Jiwa nyinyirnya pasti akan keluar. Dasar jomblo.
“Lelet amat sih, Tuan Putri!” oceh Bang Ghani.
Aku otomatis menoleh atas seruan itu. Bang Ghani sudah terlihat rapi dengan balutan kemeja hitam, tak lupa rambut klimisnya yang dibentuk seperti jambul. Terlihat sangat kece, tetapi aku enggan mengungkapkannya. Gawat kalau dia sampai besar kepala. “Abang kuliah, ya?” selidikku.
Bang Ghani mengangguk, lantas tanpa aba-aba melempar kunci rumah padaku. Beruntung saja adiknya ini memiliki daya refleks yang tinggi, jadi dapat menangkap lemparan kunci itu dengan mulus. “Kamu aja yang pegang. Abang pulang agak malam hari ini.”
“Oke,” singkatku. Aku tidak mau bertanya lebih jauh atau Bang Ghani akan menyadari ada yang aneh pada wajahku.
“Kalau gitu, Abang pergi duluan. Nanti jangan lupa dikunci pintunya,” pamit Bang Ghani. Aku dan Kak Juna mengangguk. Selepas itu, abangku beranjak dari rumah, menuju mobil peninggalan Papa yang sepertinya sudah dipanaskan di halaman depan.
Biasanya aku pergi sekolah diantar oleh Bang Ghani, tetapi kedatangan Kak Juna pagi ini benar-benar tidak disangka. Abangku juga terlihat sedang terburu-buru, jadi kurasa kami harus berterima kasih karena Kak Juna sudi menjemputku ke sini.
Kak Juna beralih padaku dan melempar senyum termanisnya. Aku praktis turut tersenyum dibuatnya. “Kita pergi sekarang? Atau mau sarapan dulu?” tawarnya.
Aku menggeleng. “Pergi sekarang aja, Kak. Takutnya nanti telat,” jawabku. Setengah jam lagi bel masuk sekolah kami akan berbunyi. Kami tidak punya waktu banyak, mengingat rumahku berada cukup jauh dari sekolah.
Kak Juna lagi-lagi tersenyum—entahlah, akhir-akhir ini dia terlihat lebih ekspresif. Kemudian, jiwa nakalnya keluar dengan menautkan jemari tangan kami tanpa aba-aba. “Ayo,” ajaknya. Aku mengangguk, mengikuti langkahnya keluar dari rumah.
“Sebentar, Kak,” kataku saat baru satu langkah melewati pintu. Aku melepaskan tangan Kak Juna, lalu mengunci pintu dari luar seperti yang diperintahkan Bang Ghani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush on Mr. Zero ✓
Fiksi RemajaPada awalnya, aku sangat memusuhi Mr. Zero. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya musuh. Pertama, dia telah menyabet peringkat pertamaku di sekolah. Kedua, dia telah menganggap remeh diriku. Ketiga, setiap melihatnya, aku selalu tahu ada p...